Kamis, 18 Mei 2017

Hutang Suami Isteri yang Tidak Dibebankan ke Dalam Harta Bersama






KAJIAN SOSIOLOGIS TENTANG HUTANG SUAMI ISTERI YANG TIDAK DIBEBANKAN KE DALAM HARTA BERSAMA







ST. USHBUL AINI
P 090 321 2401
JURUSAN HUKUM KEPERDATAAN
PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN















Alamat Korespondensi :

St. Ushbul Aini
Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin
Makassar



ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk untuk menganalisis penyebab hutang bersama tidak dibebankan ke dalam harta bersama dan pertimbangan hakim dalam memutus perkara nomor 623/Pdt.G/2009/PA Wtp. terkait hutang bersama. Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis yaitu penelitian lapangan (field research). Data yang diperoleh dianalisis dan disajikan secara deskriptif kualitatif. Berdasarkan data-data yang diperoleh dari hasil penelitian penelitian dilapangan, dalam perkara Nomor 623/Pdt.G/2009/PA WTP., seorang suami yang memohonkan cerai terhadap isterinya dengan alasan tersebut, dan kemudian direkonvensi oleh isterinya tentang pembagian harta bersama tanpa memperhatikan hutang bersama. Hutang bersama tersebut berupa kredit BRI yang masih sisa Rp 133.552.493,- ditolak sebagai hutang bersama dan Majelis Hakim menyatakan bahwa hutang tersebut adalah hutang pribadi suami selaku pemohon. Namun berdasarkan datum yang diperoleh, hutang berupa kredit BRI ini merupakan hutang bersama yang dilakukan oleh suami dan isteri sebagai modal usaha bersama. Padahal telah jelas dalam Pasal 93 Kompilasi Hukum Islam yang mengatur tentang pertanggungjawaban hutang bersama tersebut, bahwa pembayaran hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga dibebankan ke dalam harta bersama. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, hutang bersama yang berupa kredit di BRI ini pun telah diakui oleh pihak yang dimenangkan oleh Pengadilan Agama Watampone, yaitu pihak Termohon/Penggugat Rekonvensi (isteri), yang dijelaskan pada duplik dalam konvensi dan replik dalam rekonvensi. Pihak ini mengakui bahwa hutang di BRI ini merupakan hutang bersama yang pembayarannya menjadi tanggung jawab ia bersama suaminya, karena hasil kredit itulah yang dijadikan sebagai modal usaha bersama.  Namun pengakuan sebagai alat bukti sempurna ini diabaikan oleh hakim Pengadilan Agama yang memutus perkara ini. Hutang bersama yang tidak dibebankan ke dalam harta bersama sudah menjadi masalah karena bertentangan dengan hukum yang berlaku. Hal inipun menjadi alasan tidak diucapkannya ikrar talak oleh suami karena perasaan ketidakadilan yang ada dalam putusan Pengadilan Agama Watampone yang dikuatkan oleh putusan banding di Pengadilan Tinggi Agama Makassar.

Kata Kunci : Hutang Bersama, Kredit, Pengadilan Agama

ABSTRACT

This research aimed to analyze the causes of join debt are not charged into  join property and the consideration of judges in decide a case the number 623/Pdt.G/2009/PA WTP. related join debt. Technique of  data collection that used by the author namely field research. The data obtained are analyzed and presented in a descriptive qualitative. Based on data obtained from the results of research studies in the field, in case Number 623/Pdt.G/2009/PA WTP., A husband pleaded for divorce to his wife for that reason, and then counterclaimed by his wife about the division of join property without regard to the join debt. The join debt is the form of credits that are still remaining BRI Rp 133,552,493, - rejected as a join debt and the council of judge said that the debt is personal debt as the applicant's husband. However, based on datum obtained, the debt in the form of credit BRI is jointly conducted by the husband and wife as venture capital together. Beside that, it is clear in Article 93 Compilation of Islamic Law governing joint liability debt, that debt payments are made to family interests charged to the join property. As mentioned before, in the form of debt with credit at BRI has also been recognized by the party which was won by the Religious Courts Watampone, namely the Respondent / counterclaim plaintiff (wife), who described the closing argument in the convention and replik in the counterclaim. Parties recognize that the debt on the BRI is a joint debt for which payment is the responsibility of the he was with her husband, because the credit that is used as a joint venture capital. But recognition as perfect evidence is ignored by the religious court judges who decided this case. Join debt that is not charged to the joint property is already a problem because they conflict with applicable law. This has become a reason not saying pledge of talaq by the husband because of feelings of injustice that exist in Watampone Religious Court ruling that upheld by the High Court appeal in Makassar Religion.

Keyword : Join debt, Credit, Religious of Islamic Courts




PENDAHULUAN
Dewasa ini, perceraian tidak lagi dipandang sebagai urusan pribadi (privat affair) suami isteri dan/atau keluarga kedua belah pihak, tetapi telah menjadikannya urusan umum (public affair) yang dikelola oleh pengadilan. Oleh karena perceraian di masa kini menjadi urusan umum (public affair), cerai hidup antara suami isteri harus dilakukan di depan sidang pengadilan, agar akibatnya  dapat diatur sebaik-baiknya. Hal ini bertujuan untuk memberikan rasa keadilan bagi kedua belah pihak yang bercerai di masa depannya. Dalam Pasal 39 Undang-Undang Perkawinan, disebutkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak, sedangkan Pasal 63 Ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menetapkan bahwa orang-orang yang beragama Islam di Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri bagi yang lainnya. Hal ini diatur pula dalam Pasal 115 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
Suatu perceraian menimbulkan akibat terhadap kedua belah pihak yang bercerai, serta terhadap harta bersama yang diperoleh oleh mantan suami dan isteri tersebut. Jika terjadi perceraian maka harta bersama tersebut harus dibagi kepada masing-masing pihak. Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan mengatur  bahwa bila perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing, sehingga jika yang berperkara adalah orang Islam maka hukum yang berlaku baginya adalah hukum Islam. Untuk memenuhi segala kebutuhan yang bertalian dengan masalah perkawinan yang banyak aspeknya itu, hukum Islam  mengatur tata cara pelaksanaan perkawinan dan segala persoalan yang erat hubungannya dengan perkawinan, yang dalam hal ini adalah pengaturan dan pembagian harta kekayaan dalam perkawinan setelah perkawinan itu putus. Hal ini dilatarbelakangi oleh alasan bahwa suatu perkawinan haruslah ada suatu harta yang digunakan untuk menunjang kehidupan perkawinan mereka, yaitu sesuatu yang diperlukan untuk menunjang hidup dan kehidupan sepanjang perkawinan mereka. Oleh karenanya, perlu diadakan pembagian harta kekayaan dalam perkawinan.
Membahas masalah harta bersama dalam perkawinan, diperlukan pemikiran dalam tiga dimensi. Pertama, sebelum perkawinan yang menyangkut harta kekayaan yang dibawa masing-masing ke dalam perkawinan. Kedua, selama perkawinan adalah mengenai harta kekayaan yang diperoleh suami istri selama dalam perkawinan. Ketiga, setelah perkawinan yaitu pembahasan mengenai kedudukan masing-masing terhadap kekayaan tersebut.
Dasar hukum Islam tentang harta bersama suami isteri terdapat dalam Surat An Nisa Ayat (32) yang berarti “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.
Harta bersama baru dapat dibagi jika perceraian telah terjadi. Dalam Pasal 86 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama diatur bahwa gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap. Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa harta bersama dapat dilakukan bersama-sama dalam suatu putusan dengan pemberian izin perceraian.
Namun selain harta bersama, tidak menutup kemungkinan adanya hutang bersama, yang diperoleh selama perkawinan. Ketentuan mengenai hutang bersama ini diatur dalam Pasal 93 Ayat (2) Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama. Namun hal ini akan menjadi suatu permasalahan ketika hutang bersama tidak dibebankan ke dalam harta bersama, apalagi hal ini dikuatkan oleh putusan pengadilan, baik di tingkat pertama maupun di tingkat banding.
Sebagai contoh perkara hutang suami dan isteri yang tidak dibebankan ke dalam harta bersama, padahal hutang tersebut adalah hutang bersama yaitu perkara Nomor 623/Pdt.G/2009/PA WTP., seorang suami yang memohonkan cerai terhadap isterinya dengan alasan antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga, dan kemudian direkonvensi oleh isterinya tentang pembagian harta bersama tanpa memperhatikan hutang bersama. Salah satu hutang bersama tersebut berupa kredit BRI yang masih sisa Rp 133.552.493,- ditolak sebagai hutang bersama dan Majelis Hakim menyatakan bahwa hutang tersebut adalah hutang pribadi suami selaku pemohon. Namun berdasarkan datum yang diperoleh yang akan dijelaskan dalam pembahasan skripsi ini, hutang berupa kredit BRI ini merupakan hutang bersama yang dilakukan oleh suami dan isteri sebagai modal usaha bersama. Padahal telah jelas dalam Pasal 93 Ayat (2) Kompilasi Hukum Islam yang mengatur tentang pertanggungjawaban hutang bersama tersebut, bahwa pembayaran hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga dibebankan ke dalam harta bersama.
 Seperti yang dijelaskan sebelumnya, hutang bersama yang berupa kredit di BRI ini pun telah diakui oleh pihak yang dimenangkan oleh Pengadilan Agama Watampone, yaitu pihak Termohon/Penggugat Rekonvensi (isteri), yang dijelaskan pada duplik dalam konvensi dan replik dalam rekonvensi. Pihak ini mengakui bahwa hutang di BRI ini merupakan hutang bersama yang pembayarannya menjadi tanggung jawabnya bersama suami, karena hasil kredit itulah yang dijadikan sebagai modal usaha bersama.  Namun pengakuan sebagai alat bukti sempurna ini diabaikan oleh hakim Pengadilan Agama yang memutus perkara ini. Hal inilah yang melatarbelakangi penulis untuk menganalisis putusan Nomor 623/Pdt.G/2009/PA WTP. terhadap hutang bersama yang tidak dibagi, dengan kata lain hutang bersama tersebut tidak dibebankan ke dalam harta bersama.  Hutang bersama yang tidak dibebankan ke dalam harta bersama menjadi masalah karena bertentangan dengan hukum yang berlaku. Hal inipun menjadi alasan tidak diucapkannya ikrar talak oleh suami karena rasa ketidakadilan yang ada dalam putusan Pengadilan Agama Watampone yang dikuatkan oleh putusan banding di Pengadilan Tinggi Agama Makassar.

BAHAN DAN METODE
Lokasi dan Rancangan Penelitian
Untuk memperoleh informasi atau data yang akurat, yang berkaitan dan relevan dengan permasalahan dan penyelesaian penulisan skripsi ini, maka dipilih lokasi penelitian di Kabupaten Bone, yaitu Pengadilan Agama Klas IB Watampone, dan di Kota Makassar, yaitu Pengadilan Tinggi Agama Makassar. Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh data dan informasi adalah penelitian lapangan (field research) yang dilakukan untuk memperoleh data primer dan data sekunder.
Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data primer dilakukan dengan menggunakan metode quisioner kepada hakim-hakim yang pernah memutus perkara hutang bersama, yaitu teknik pengumpulan data dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan kepada hakim Pengadilan Agama Klas IB Watampone, Kabupaten Bone, dan Pengadilan Tinggi Agama Makassar serta melakukan wawancara kepada hakim yang memutus perkara yang diangkat dalam skripsi ini, yaitu teknik pengumpulan data dalam bentuk tanya jawab kepada hakim Pengadilan Agama Watampone dan hakim Pengadilan Tinggi Agama Makassar dan pihak-pihak yang bersengketa atau berperkara, serta pakar hukum di bidang Hukum Islam. Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara mengumpulkan datum dari Pengadilan Agama Klas IB Watampone, Kabupaten Bone, yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam skripsi ini.
Data yang diperoleh atau yang berhasil dikumpulkan selama proses penelitian, baik data primer maupun data sekunder, dianalisis secara kualitatif kemudian disajikan secara deskriptif yaitu dengan menggambarkan, menguraikan, dan menjelaskan sesuai dengan permasalahan yang erat kaitannya dengan penelitian ini.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Faktor-Faktor Penyebab Tidak Dibebankannya Hutang Bersama ke dalam Harta Bersama
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dengan memberikan quisioner kepada hakim-hakim yang pernah memutus perkara hutang bersama dan wawancara kepada hakim di Pengadilan Agama Klas IB Watampone, Kabupaten Bone, dan Pengadilan Tinggi Agama Makassar yang memutus perkara yang diangkat dalam skripsi ini, ada beberapa faktor tidak dibebankannya hutang bersama ke dalam harta bersama. Hal ini berarti bahwa amanat Pasal 93 Kompilasi Hukum Islam tidak terpenuhi. Namun berdasarkan pendapat hakim-hakim sebagai praktisi hukum (dari jawaban quisioner terhadap dua belas hakim yang pernah memutus perkara tentang hutang bersama, yang terdiri dari lima hakim Pengadilan Agama Watampone, yaitu Hakim A, Hakim B, Hakim C, Hakim D, dan Hakim E, dan tujuh hakim Pengadilan Tinggi Agama Makassar, yaitu Hakim T, Hakim U, Hakim V, Hakim W, Hakim X, Hakim Y, dan Hakim Z),  terdapat beberapa hal yang menyebabkan pertanggungjawaban hutang bersama tidak dibebankan ke dalam harta bersama, yaitu :
         Pendapat hakim-hakim Pengadilan Agama Watampone
Hakim-hakim Pengadilan Agama Watampone, yakni Hakim A, Hakim B, Hakim C, Hakim D, dan Hakim E, memiliki satu pendapat yang sama tentang pertanggungjawaban hutang bersama yang tidak dibebankan ke dalam harta bersama, yaitu adanya kesepakatan di antara kedua belah pihak, yakni suami dan isteri, yang bersepakat mengenai hal tersebut. Dalam perkara yang ditangani para hakim tersebut, sebagian besar dari faktor penyebab tidak dibebankannya hutang bersama ke dalam harta bersama yaitu adanya kesepakatan atau perdamaian dari kedua belah pihak.
Selain itu, dari hasil wawancara dengan hakim yang memutus perkara tersebut (Hakim F dan Hakim G di Pengadilan Agama Watampone) menyatakan bahwa faktor penyebab tidak dibebankannya hutang bersama ke dalam harta bersama yaitu adanya kesepakatan perdamaian di antara kedua belah pihak. Dalam praktiknya, terkadang suami yang menanggung semua hutang bersama tersebut, terkadang pula isteri yang menanggungnya. Namun sebagian besar putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Watampone, hutang bersama yang digunakan untuk kepentingan keluarga dibagi seperdua kepada masing-masing pihak yang berperkara. Hakim G yang juga diwawancarai di ruangan yang berbeda di Pengadilan Agama Watampone menyatakan hal yang sama dengan pernyataan Hakim F mengenai pertanggungjawaban hutang bersama tersebut.
Pendapat hakim-hakim Pengadilan Tinggi Agama Makassar
Hakim-hakim Pengadilan Tinggi Agama Makassar, yakni Hakim T, Hakim U, Hakim V, Hakim W, Hakim X, Hakim Y, dan Hakim Z,  mempunyai pendapat yang berbeda-beda mengenai faktor-faktor penyebab tidak dibebankannya hutang bersama ke dalam harta bersama. Berdasarkan hasil quisioner kepada tujuh hakim di atas, faktor-faktor penyebab tidak dibebankannya hutang bersama ke dalam harta bersama dinyatakan oleh Hakim T, bahwa pertanggungjawaban hutang bersama ini tergantung dari kasusnya. Hal ini berarti bahwa pembayaran hutang bersama yang tidak dibebankan ke dalam harta bersama suami dan isteri yang bercerai harus melihat kasusnya terlebih dahulu untuk menentukan pertimbangan hukum mengenai pertanggungjawaban hutang bersama tersebut. Adapun Hakim U menyatakan bahwa faktor penyebab tidak dibebankannya hutang bersama ke dalam harta bersama karena biasanya salah satu pihak pemboros, baik suami ataupun isteri, sehingga harta bersama tidak dibagikan kepada pihak yang boros tersebut, sedangkan Hakim V dan Hakim X memiliki pendapat yang sama bahwa faktor penyebab tidak dibebankannya hutang bersama ke dalam harta bersama karena hutang itu ada hanya dengan persetujuan sepihak atau disembunyikan, apabila salah satu berutang bukan karena untuk kepentingan keluarga, melainkan untuk kepentingan lain, serta tidak disepakati adanya hutang tersebut atau salah satu pihak tidak mengetahui adanya hutang tersebut. Hakim W menyatakan bahwa faktor penyebab tidak dibebankannya hutang bersama ke dalam harta bersama yaitu jika ada kerelaan dari kedua belah pihak (ada kesepakatan) bahwa hutang tersebut ditanggung oleh suami atau isteri, harta bersama tidak ada atau tidak mencukupi, dan ada perjanjian sebelumnya. Hakim Y memiliki pendapat yang sama menyatakan bahwa faktor penyebab tidak dibebankannya hutang bersama ke dalam harta bersama yaitu apabila keduanya meminta agar hutang tersebut dibayarkan oleh suami sebagai kompensasi dari biaya yang telah diambil lebih dahulu atau sebaliknya (tergantung bagaimana kehendak kedua belah pihak jika ada kesepakatan), serta Hakim Z menyatakan bahwa faktor penyebab tidak dibebankannya hutang bersama ke dalam harta bersama yaitu ketidaktahuan salah satu pihak atas hutang yang dilakukan oleh suami atau isterinya.

Upaya Hukum yang Dapat Dilakukan terhadap Hutang Bersaa yang Tidak Dibebankan ke Dalam Hart Bersama
Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa salah satu contoh perkara yang dibahas dalam jurnal ini adalah putusan Pengadilan Agama Watampone yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat pertama menjatuhkan putusan dengan nomor register perkara 623/Pdt.G/2009/ PA Wtp. yang merupakan perkara cerai talak antara A. Junandar bin A. Rahman sebagai Pemohon dengan A. Nurrahma binti Mappatanra sebagai Termohon. Pemohon yang menceraikan isterinya beralasan bahwa harapan untuk hidup rukun sudah tidak ada lagi, sehingga Pengadilan Agama Watampone mengabulkan permohonan perceraian Pemohon. Pemohon menyatakan bahwa awal kehidupan rumah tangganya dengan isterinya hidup rukun. Akan tetapi setelah satu bulan dari perkawinan rumah tangga keduanya mulai timbul perselisihan dan pertengkaran karena Termohon dianggap tidak taat kepada Pemohon sebagai suaminya. Pemohon yang diwawancarai menyatakan bahwa Termohon selalu tidak menghiraukan dan meninggalkan Pemohon bila dinasehati, sehingga keduanya tiga kali pisah tempat tinggal. Rumah tangga keduanya akhirnya tidak bisa dipertahankan lagi karena Termohon meninggalkan Pemohon tanpa izin selama satu tahun lima bulan. Pemohon dan Termohon telah melakukan proses mediasi berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2008, tetapi upaya mendamaikan kedua belah pihak tidak berhasil, sehingga dikeluarkan putusan perceraian diantara keduanya.
1.    Hutang tersebut untuk kepentingan keluarga, bukan untuk kepentingan lain.
2.    Atas kesepakatan bersama.
3.    Hutang tersebut dilakukan selama perkawinan berlangsung.
Ketiga syarat di atas dimiliki oleh kredit BRI yang dilakukan oleh Pemohon dan Termohon, sehingga hutang tersebut adalah hutang bersama, bukan hutang pribadi seperti yang disebutkan oleh Majelis Hakim yang menangani perkara ini. Adapun hal-hal yang merupakan bukti bahwa kredit BRI ini adalah hutang bersama yaitu adanya pengakuan kedua belah pihak. Pemohon yang tentu saja mengakui bahwa kredit BRI ini merupakan hutang bersama, dan Termohon (isteri) juga mengakui bahwa kredit di BRI ini merupakan hutang bersama antara pemohon dan termohon. Pengakuan ini dituliskan oleh Termohon dalam duplik dalam konvensi dan replik dalam rekonvensi. Termohon bahkan meminta kepada Majelis Hakim agar hutang bersama ini dibayarkan dari harta bersama antara Pemohon dan Termohon. Pada masa sekarang, apalagi yang menyangkut tentang harta bersama, diperlukan persetujuan suami dan isteri. Persetujuan suami dan isteri menjadi syarat dalam pengambilan kredit di Bank. Namun pengakuan yang menjadi alat bukti sempurna dalam masalah kebendaan (harta) ini diabaikan oleh Majelis Hakim.
Berdasarkan hasil wawancara terhadap Pemohon dan Termohon yang dilakukan di dua tempat berbeda (di rumah masing-masing), keduanya mengakui hutang bersama berupa kredit BRI dan diabaikan oleh Majelis Hakim, padahal kedua belah pihak yang melakukan hutang tersebut mengakui bahwa hal ini merupakan hutang bersama. Selain bukti duplik dalam konvensi dan replik dalam rekonvensi, hal-hal yang perlu ditelaah mengenai pertimbangan hakim dengan garis besar yang menyatakan   bahwa :
1.    Permohonan kredit di BRI ditandatangani berdua.
2.    Termohon (isteri) tidak tahu uang pinjaman tersebut.
3.    Keterangan ini terungkap di persidangan dan tidak dibantah oleh hakim.
Persyaratan untuk mengajukan permohonan kredit di bank, jika pemohon berstatus kawin, maka harus ada persetujuan suami isteri. Hal inilah yang kemudian dipenuhi oleh Pemohon dan Termohon dengan menandatangani permohonan tersebut. Secara tersirat, dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim yang menyatakan bahwa permohonan kredit BRI ditandatangani berdua dan Termohon tidak mengetahui uang pinjaman tersebut merupakan dua hal yang bertentangan. Merupakan hal yang aneh bahwa permohonan kredit di BRI ditandatangani berdua oleh Pemohon dan Termohon, akan tetapi Majelis Hakim menyatakan bahwa Termohon tidak mengetahui uang pinjaman tersebut. Selain itu, Majelis Hakim menyatakan bahwa keterangan tersebut tidak dibantah oleh Pemohon (suami), tetapi berdasarkan hasil wawancara dengan Pemohon, Pemohon mengatakan bahwa ia berkali-kali menolak (menyangkal) keterangan tersebut. Namun sanggahan pemohon di persidangan ini tidak dituliskan dalam Berita Acara Persidangan yang dibuat oleh Panitera Pengganti. Pengakuan Termohon (isteri) yang dituliskan di duplik dalam konvensi dan replik dalam rekonvensi secara tegas meminta pembayaran hutang bersama berupa kredit BRI ini dibebankan kepada keduanya karena uang yang dipinjam dari BRI diambil sebagai modal usaha bersama, sehingga pertimbangan hukum bahwa Termohon tidak mengetahui uang kredit tersebut tidak terbukti.
Majelis Hakim yang menangani perkara hutang bersama tentunya harus memperhatikan pengakuan para pihak di hadapan sidang dan pengakuan tertulis para pihak tersebut. Berdasarkan hasil quisioner yang dilakukan kepada semua hakim, baik di Hakim A, Hakim B, Hakim C, Hakim D, dan Hakim E di Pengadilan Agama Watampone maupun    Hakim T, Hakim U, Hakim V, Hakim W, Hakim X, Hakim Y, dan Hakim Z di Pengadilan Tinggi Agama Makassar selalu memperhatian pengakuan dan pernyataan para pihak dalam membuat putusan, sehingga dengan memperhatikan hal tersebut dapat memberikan putusan yang adil bagi pihak yang berperkara. Namun hal yang aneh ketika putusan perkara nomor 623/Pdt.G/2009/PA Wtp. tidak mempertimbangkan keinginan para pihak tentang pembayaran hutang bersama berupa kredit di BRI tersebut. Menurut Hakim Y di Pengadilan Tinggi Agama Makassar yang diwawancarai mengenai perkara di atas, jika hakim memutuskan apa yang tidak diminta oleh orang yang berperkara, maka dapat dibatalkan oleh hakim yang di atasnya. Oleh karena perkara di atas adalah perkara perdata, maka tetap apa yang menjadi keinginan pihak yang berperkara, hakim tidak boleh memutuskan apa yang tidak diminta. Jadi jika terbukti hartanya adalah harta bersama dan hutangnya adalah hutang bersama, maka pembayarannya diambil dari harta bersama. Hal inilah yang `terjadi dalam perkara yang dibahas dalam skripsi ini.
Menurut hasil wawancara yang dilakukan dengan Soekarno Aburaera, seorang guru besar Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, dari segi hukum acara perdata, jika para pihak yang berperkara sudah mengakui dan membenarkan suatu hal, yang dalam hal ini hutang bersama, maka hakim tidak boleh lagi mempertanyakan atau mempersoalkan pengakuan yang telah dibuat oleh kedua pihak tersebut. Telah menjadi rumus hukum acara, bahwa hakim harus memutus sesuai pengakuan. Pengakuan para pihak yang berperkara dalam Hukum Acara Perdata merupakan bukti yang membenarkan hal-hal yang didalilkan dalam gugatan, tetapi pengakuan tersebut harus bulat. Dalam teorinya, pengakuan merupakan alat bukti yang memiliki kekuatan bukti sempurna yang berarti jika ada pihak yang mengingkari pengakuannya, maka ia harus membuktikan bahwa pengakuan itu tidak pernah diberikan ataukah pengakuan yang diberikan berklausula (terpecah-pecah).
Dalam putusan nomor 623/Pdt.G/2009/PA Wtp., terdapat pertimbangan hakim bahwa pada saat pencairan kredit BRI, kedua belah pihak sudah pisah tempat tinggal. Menurut Soekarno Aburaera, dalam Islam hanya dikenal pernikahan, suami-isteri, atau cerai. Tidak dikenal adanya pisah tempat tinggal. Pisah meja dan ranjang itu merupakan konsep Barat, sehingga dalam perkara ini, tidak tepat dikatakan pisah tempat tinggal. Akan tetapi, untuk mempersoalkan putusan itu adalah hal yang tidak mudah. Kembali pada pengakuan yang diabaikan itu, hakim tetap keliru, karena suatu pengakuan yang telah dibuat oleh para pihak mengikat hakim, misalnya saja seorang guru besar berhutang sejumlah uang kepada mahasiswa biasa, secara logika, hal ini tidak masuk akal, namun jika guru besar tersebut mengakui hutang tersebut, maka hakim tidak boleh mengabaikan  pengakuan tersebut.
Terlepas dari hal tersebut, putusan yang mengabaikan pengakuan dari para pihak yang berperkara, menurut para hakim di Pengadilan Tinggi Agama Makassar, putusan tersebut dapat dibatalkan oleh hakim yang lebih tinggi di atasnya. Namun jika keadilan tersebut masih belum terpenuhi, tentu saja berdampak negatif bagi para pencari keadilan seperti para pihak dalam perkara nomor 623/Pdt.G/2009/PA Wtp. ini. Pihak yang dirugikan ini dapat mengajukan upaya hukum.
  Namun dalam hal hakim memutus tidak sesuai pengakuan para pihak, tidak ada konsekuensi atau sanksi bagi hakim tersebut. Oleh karena pertimbangan hukum dan diktum itu kebal, seperti halnya hakim yang memiliki kekebalan hukum dan di negara manapun hal ini tidak bisa dipersoalkan. Satu-satunya upaya yang dapat dilakukan bagi para pihak untuk melawan pertimbangan hakim dan diktum putusan, hanyalah melalui upaya hukum yang ada. Dengan kata lain, kekebalan hakim dalam hal ini hanya bisa dilawan berdasarkan upaya hukum. Upaya hukum tersebut terdiri dari upaya hukum biasa, yaitu verzet terhadap putusan verstek, upaya hukum banding, dan upaya hukum kasasi, serta upaya hukum luar biasa yaitu peninjauan kembali dan derdenverzet (perlawanan pihak ketiga).
Dalam perkara ini, suatu hal yang harus dipisahkan bahwa di satu sisi hakim keliru dalam memutus, karena tidak memperhatikan pengakuan. Di sisi lain, putusan itu tetap dianggap benar dan harus dilaksanakan, terlepas dari pengakuan yang diabaikan oleh hakim tersebut. Namun ada solusi yang dapat ditempuh oleh pihak yang kalah (dalam hal ini suami/Pemohon/Tergugat Rekonvensi/Pembanding) yaitu melakukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Dalam putusan hakim dalam perkara nomor 623/Pdt.G/2009/PA Wtp., hakim keliru dalam memutus, yang diuraikan sebagai berikut :
1.         Dalam pertimbangan hakim, dinyatakan bahwa kedua belah pihak sudah pisah tempat tinggal. Hal ini tidak dapat menjadi alasan untuk menolak hutang bersama tersebut, karena selain Islam tidak mengenal pisah tempat tinggal, juga para pihak ini masih dalam status suami-isteri.
2.         Untuk mengambil kredit di bank, tentunya harus ada persetujuan suami dan isteri. Dalam keadaan sekarang, setiap tindakan dan perbuatan hukum yang dilakukan oleh suami atau isteri yang mengaitkan hal tersebut dengan harta bersama, maka harus ada persetujuan suami dan isteri.
3.         Hutang berupa kredit di BRI itu digunakan sebagai modal usaha bersama, yang kemudian digunakan untuk membeli alat penggiling padi (yang ditetapkan oleh hakim sebagai harta bersama), otomatis menjadi hutang bersama yang menjadi tanggung jawab para pihak.
Perkara inipun dilakukan upaya hukum banding oleh pihak suami. Suatu perbedaan dari pendapat hakim yang menyatakan bahwa pihak yang mengajukan banding tidak jelas dalam permohonannya yang tertuang dalam memori banding. Pihak tersebut, menurut hakim, tidak secara tegas mempersoalkan putusan hakim yang menolak hutang bersama tersebut, sedangkan menurut Soekarno Aburaera, hakim banding tidak terikat oleh memori banding, sehingga ketika suatu perkara diajukan, maka hakim harus memeriksa semua berkas, dari berkas awal hingga berkas akhir.
Menurut Ahmadi Miru, seorang pakar Hukum Islam yang juga guru besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, yang diwawancarai terkait perkara di atas, hakim keliru dalam menerapkan hukum. Hakim harus mengikuti apa yang telah diakui oleh para pihak. Jika pengakuan itu murni dari kedua belah pihak, maka selain sumpah, alat bukti pengakuan juga sifatnya mengikat hakim. Putusan perkara nomor 623/Pdt.G/2009/PA Wtp. ini dapat diajukan peninjauan kembali, mengingat waktu kasasinya telah lewat, dengan syarat-syarat tertentu, misalnya terdapat kekeliruan hakim dalam memutus, dan sebagainya. Oleh karena perkara ini telah lewat masa mengajukan kasasi, yaitu 14 hari setelah putusan banding dibacakan, maka pihak yang keberatan dapat ditinjau kembali, dengan alasan-alasan yang dapat ditempuh yaitu :
1.      Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus, atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim dinyatakan palsu.
2.      Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak ditemukan.
3.      Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut.
4.      Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya.
5.      Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Kelima alasan di atas dapat dijadikan pertimbangan bagi pihak yang merasa dirugikan, karena ada solusi yang dapat ditempuh oleh pihak-pihak yang merasa hak pribadinya dilanggar, yaitu dengan jalan upaya hukum di atas.
Hal yang tetap harus diperhatikan oleh pihak yang berperkara, dalam hal ini Pemohon selaku suami, adalah isi permohonannya. Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa hakim perdata hanya memutus apa yang diminta oleh pihak yang berperkara, maka Pemohon yang memohonkan banding atas pembagian hutang bersama tersebut ke Pengadilan Tinggi Agama Makassar harus jelas mencantumkan keberatannya dalam memori bandingnya. Dalam memori bandingnya, Pemohon mengajukan keberatannya atas putusan Pengadilan Agama Watampone tersebut, namun tidak secara gamblang menyatakan keberatannya, sehingga Hakim Y yang diwawancarai mengatakan bahwa Pemohon seharusnya menyatakan keberatannya secara tegas dan lugas. Hal ini dapat memberikan petunjuk yang jelas kepada hakim banding dalam memeriksa perkara tersebut. Namun seperti yang telah dinyatakan oleh Soekarno Aburaera, hakim tidak terikat oleh memori banding. Hakim harus memeriksa dari berkas awal hingga berkas akhir, namun untuk upaya hukum selanjutnya, hal permohonan tetap harus diperhatikan oleh pihak yang merasa dirugikan.
Terkait dengan pendapat dari para pakar hukum sebagai akademisi dan hakim sebagai praktisi, terdapat dua hal yang berbeda antara keduanya. Pertama, hakim menyatakan menyatakan bahwa pihak yang mengajukan banding harus jelas dalam permohonannya yang dituangkan dalam memori banding. Sedangkan menurut Soekarno Aburaera, hakim banding tidak terikat oleh memori banding, sehingga ketika suatu perkara diajukan, maka hakim harus memeriksa semua berkas, dari berkas awal hingga berkas akhir. Kedua, terkait dengan ultra petita, hakim berpendapat bahwa hakim tidak boleh memutuskan apa yang tidak diminta oleh pihak yang berperkara. Jika hakim memutuskan apa yang tidak diminta oleh orang yang berperkara, dapat dibatalkan oleh hakim di atasnya, karena perkara ini perkara perdata, jadi hakim harus tetap pada apa yang menjadi keinginan pihak-pihak yang berperkara. Sedangkan menurut Soekarno Aburaera, hakim bisa saja melakukan hal tersebut. Walaupun dalam HIR dan RBg dinyatakan bahwa hakim tidak dibenarkan memutus di luar apa yang diminta oleh para pihak yang berperkara. Namun dalam beberapa perkara perdata, ultra petita bisa saja terjadi. Hal ini didasarkan atas hukum dan keadilan, walaupun dalam prinsipnya hakim tidak dibenarkan memutus perkara melebihi apa yang digugat.
Dari sisi keadilan, pihak-pihak yang merasa dirugikan terhadap putusan di atas, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pihak-pihak tersebut dapat membuat kesepakatan atau persetujuan tentang pembayaran hutang bersama tersebut. Putusan hakim di atas bisa saja tidak dilaksanakan oleh kedua belah pihak, walaupun di lain hal, putusan tersebut tetap dianggap benar. Namun semuanya tergantung para pihak. Tidak menjadi persoalan ketika putusan tersebut tidak dilaksanakan selama para pihak bersepakat mengenai hal ini. Selain itu, derdenverzet atau perlawanan pihak ketiga dapat ditempuh. Pada asasnya suatu putusan hanyalah mengikat para pihak yang berperkara dan tidak mengikat pihak ketiga.[1] Akan tetapi, apabila pihak ketiga (dalam perkara ini BRI), hak-haknya dirugikan oleh putusan Nomor 623/Pdt.G/2009/PA Wtp., sehingga BRI dapat menempuh derdenverzet. Perlawanan ini diajukan kepada hakim Pengadilan Agama Watampone dan juga dapat mengajukan perlawanan atas putusan Nomor 87/Pdt.G/2010/PTA Mks. yang dikeluarkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Agama Makassar, dengan menggugat para pihak yang bersangkutan dengan cara biasa.
BRI sebagai pihak ketiga yang akan mengajukan perlawaan atas putusan tersebut memiliki kepentingan dan hak-haknya dirugikan, karena pembayaran kredit yang dilakukan oleh Pemohon dan Termohon terkendala. Hal ini dikarenakan hasil kredit yang digunakan sebagau modal bersama yang hasilnya dijadikan harta bersama oleh Majelis Hakim yang memutus perkara tersebut, dibagi dua kepada Pemohon dan Termohon, namun yang berkewajiban menanggung hanya Pemohon saja, sehingga tidak menutup kemungkinan pembayaran kredit akan macet. Apabila perlawanannya itu dikabulkan, maka putusan yang dilawan itu diperbaiki sepanjang merugikan pihak ketiga, yakni BRI.

KESIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil quisioner yang diberikan kepada dua belas hakim di atas, hutang bersama yang di dalam Pasal 93 Kompilasi Hukum Islam harus dibebankan ke dalam harta bersama, karena hutang tersebut digunakan untuk kepentingan keluarga, dalam praktiknya terkadang tidak sesuai dengan aturan yang telah ditentukan tersebut. Faktor-faktor di atas menjadi penyebab tidak dibebankannya hutang bersama ke dalam harta bersama yang biasanya dijadikan pertimbangan hakim-hakim Pengadilan Agama Watampone dan Pengadilan Tinggi Agama Makassar dalam memutus perkara hutang bersama.

DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhammad Daud. 1993. Hukum Keluarga Dalam Masyarakat Islam Kontemporer, dalam Mimbar Hukum. Jakarta : PT Intermasa. 

____________________. 2007. Hukum Islam. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.

Azhary, H.M. Tahir. 1994. Analisis Yurisprudensi : Tentang Perceraian, dalam Mimbar   Hukum.  Jakarta :  PT Intermasa.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi II. Jakarta : Balai Pustaka.

Hadikusuma, Hilman. 1990. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan Hukum Adat Hukum Agama.Bandung : Mandar Maju.

Harahap, M. Yahya. 1975. Hukum Perkawinan Nasional. Medan : Zahir Trading.
­­­­­­­­­­­­­
_______________. 1995. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama. Jakarta : Pustaka Kartini.

Jafizham, T.. 1977. Persentuhan Hukum Di Indonesia dengan Hukum Islam. Medan : CV Mestika.

Manan, Abdul. 2005. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama. Jakarta : Prenada Media.

Mertokusumo, Sudikno. 2002. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta : Liberty.

Satrio, J.. 1991. Hukum Harta Perkawinan. Bandung : PT Citra Aditya Bakti.

Soemiyati. 2004. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan. Yogyakarta : Liberty.

Supriadi, Wila Chandrawila. 2002. Hukum Perkawinan Indonesia dan Belanda. Bandung : Mandar Maju.

Sutantio, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata. 2005. Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek. Bandung : Mandar Maju.

Syahrani, Riduan. 1985.Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata.Bandung : Alumni.

Thalib, Sayuti. 1974.  Hukum Kekeluargaan Indonesia (berlaku bagi umat Islam). Jakarta : Universitas Indonesia

Sumber Bacaan Ilmiah :
Kardiansyah, Achmad.  2008.  Harta Bersama Sebagai Objek Jaminan Hak Tanggungan (Studi di Pengadilan Tanjung Karang).     Semarang : Universitas Diponegoro.

Karyoso, Djoko. 2008. Pelaksanaan Pembagian Harta Perkawinan sebagai Akibat Perceraian bagi Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Semarang : Universitas Diponegoro.

Lubis, Andayanti. 2009. Kajian Yuridis Pertanggungjawaban Atas Harta Bawaan Isteri terhadap Hutang Suami dengan Jaminan Harta Bersama (Studi Kasus Putusan Nomor :295/Pdt.G/2001/PN Mdn). Semarang : Universitas Diponegoro. Semarang.

Prabandari, Evi Widyagung. 2009. Perlindungan Hukum terhadap Isteri atas Masalah Harta yang dipersengketakan dalam Gugatan Harta Bersama dalam perkara Perceraian (Studi di Pengadilan Agama Makassar). Semarang : Universitas Diponegoro.

Wanti, Noni.2005. Tanggung Jawab Isteri terhadap Hutang yang Diperbuat Suami yang Menjaminkan Harta Bersama (Penelitian di Kota Medan). Medan : Universitas Sumatera Utara.

Sumber Internet :
http://www.pnpandeglang.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=87. Diakses pada hari Sabtu, 27 Agustus 2011,                    jam 12.17 WITA.

http://opi.110mb.com/faraidweb/15_BeberapaPertanyaanSeputarHartaWarisan.html. Diakses pada hari Sabtu, 27 Agustus 2011,                  jam 12.28 WITA.

http://idb4.wikispaces.com/file/view/ws4003.pdf. Diakses pada hari Sabtu, 27 Agustus 2011,  jam  12.28 WITA.

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/5515/1/09E02299.pdf. Diakses pada hari Sabtu, 27 Agustus 2011,  jam  12.37 WITA.




[1]    Sudikno Mertokusumo. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta. Liberty.2002. Hal.245.