KAJIAN SOSIOLOGIS TENTANG HUTANG SUAMI
ISTERI YANG TIDAK DIBEBANKAN KE DALAM HARTA BERSAMA
ST. USHBUL AINI
P 090 321 2401
JURUSAN HUKUM KEPERDATAAN
PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
Alamat
Korespondensi :
St. Ushbul Aini
Fakultas Hukum
Universitas
Hasanuddin
Makassar
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk untuk menganalisis penyebab hutang bersama tidak dibebankan
ke dalam harta bersama dan pertimbangan hakim dalam memutus perkara nomor
623/Pdt.G/2009/PA Wtp. terkait hutang bersama. Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis yaitu penelitian lapangan (field research). Data yang diperoleh
dianalisis dan disajikan secara deskriptif kualitatif. Berdasarkan data-data yang diperoleh dari hasil
penelitian penelitian dilapangan, dalam perkara Nomor 623/Pdt.G/2009/PA WTP., seorang suami yang memohonkan
cerai terhadap isterinya dengan alasan tersebut, dan kemudian direkonvensi oleh
isterinya tentang pembagian harta bersama tanpa memperhatikan hutang bersama.
Hutang bersama tersebut berupa kredit BRI yang masih sisa Rp 133.552.493,-
ditolak sebagai hutang bersama dan Majelis Hakim menyatakan bahwa hutang
tersebut adalah hutang pribadi suami selaku pemohon. Namun berdasarkan datum
yang diperoleh, hutang berupa kredit BRI ini merupakan hutang bersama yang
dilakukan oleh suami dan isteri sebagai modal usaha bersama. Padahal telah jelas
dalam Pasal 93 Kompilasi Hukum Islam yang mengatur tentang pertanggungjawaban
hutang bersama tersebut, bahwa pembayaran hutang yang dilakukan untuk
kepentingan keluarga dibebankan ke dalam harta bersama. Seperti yang dijelaskan
sebelumnya, hutang bersama yang berupa kredit di BRI ini pun telah diakui oleh
pihak yang dimenangkan oleh Pengadilan Agama Watampone, yaitu pihak
Termohon/Penggugat Rekonvensi (isteri), yang dijelaskan pada duplik dalam
konvensi dan replik dalam rekonvensi. Pihak ini mengakui bahwa hutang di BRI
ini merupakan hutang bersama yang pembayarannya menjadi tanggung jawab ia
bersama suaminya, karena hasil kredit itulah yang dijadikan sebagai modal usaha
bersama. Namun pengakuan sebagai alat
bukti sempurna ini diabaikan oleh hakim Pengadilan Agama yang memutus perkara ini. Hutang bersama
yang tidak dibebankan ke dalam harta bersama sudah menjadi masalah karena
bertentangan dengan hukum yang berlaku. Hal inipun menjadi alasan tidak
diucapkannya ikrar talak oleh suami karena perasaan ketidakadilan yang ada
dalam putusan Pengadilan Agama Watampone yang dikuatkan oleh putusan banding di
Pengadilan Tinggi Agama Makassar.
Kata Kunci :
Hutang Bersama, Kredit, Pengadilan Agama
ABSTRACT
This research aimed to analyze the causes of
join debt are not charged into join
property and the consideration of judges in decide a case the number
623/Pdt.G/2009/PA WTP. related join debt. Technique of data collection that used by the author
namely field research. The data obtained are analyzed and presented in a
descriptive qualitative. Based on data obtained from the results of research
studies in the field, in case Number 623/Pdt.G/2009/PA WTP., A husband pleaded
for divorce to his wife for that reason, and then counterclaimed by his wife
about the division of join property without regard to the join debt. The join
debt is the form of credits that are still remaining BRI Rp 133,552,493, -
rejected as a join debt and the council of judge said that the debt is personal
debt as the applicant's husband. However, based on datum obtained, the debt in
the form of credit BRI is jointly conducted by the husband and wife as venture
capital together. Beside that, it is clear in Article 93 Compilation of Islamic
Law governing joint liability debt, that debt payments are made to family
interests charged to the join property. As mentioned before, in the form of
debt with credit at BRI has also been recognized by the party which was won by
the Religious Courts Watampone, namely the Respondent / counterclaim plaintiff
(wife), who described the closing argument in the convention and replik in the
counterclaim. Parties recognize that the debt on the BRI is a joint debt for
which payment is the responsibility of the he was with her husband, because the
credit that is used as a joint venture capital. But recognition as perfect
evidence is ignored by the religious court judges who decided this case. Join
debt that is not charged to the joint property is already a problem because
they conflict with applicable law. This has become a reason not saying pledge
of talaq by the husband because of feelings of injustice that exist in
Watampone Religious Court ruling that upheld by the High Court appeal in
Makassar Religion.
Keyword : Join debt, Credit, Religious of
Islamic Courts
PENDAHULUAN
Dewasa ini, perceraian tidak lagi
dipandang sebagai urusan pribadi (privat
affair) suami isteri dan/atau keluarga kedua belah pihak, tetapi telah
menjadikannya urusan umum (public affair)
yang dikelola oleh pengadilan. Oleh karena perceraian di masa kini menjadi
urusan umum (public affair), cerai
hidup antara suami isteri harus dilakukan di depan sidang pengadilan, agar
akibatnya dapat diatur sebaik-baiknya.
Hal ini bertujuan untuk memberikan rasa keadilan bagi kedua belah pihak yang
bercerai di masa depannya. Dalam Pasal 39 Undang-Undang Perkawinan, disebutkan
bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah
pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua
belah pihak, sedangkan Pasal 63 Ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menetapkan bahwa orang-orang yang
beragama Islam di Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri bagi yang lainnya. Hal
ini diatur pula dalam Pasal 115 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa
perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah
Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah
pihak.
Suatu perceraian menimbulkan akibat
terhadap kedua belah pihak yang bercerai, serta terhadap harta bersama yang
diperoleh oleh mantan suami dan isteri tersebut. Jika terjadi perceraian maka
harta bersama tersebut harus dibagi kepada masing-masing pihak. Pasal 37
Undang-Undang Perkawinan mengatur bahwa
bila perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama diatur menurut
hukumnya masing-masing, sehingga jika yang berperkara adalah orang Islam maka
hukum yang berlaku baginya adalah hukum Islam. Untuk memenuhi segala kebutuhan yang bertalian dengan masalah
perkawinan yang banyak aspeknya itu, hukum Islam mengatur tata cara pelaksanaan perkawinan dan
segala persoalan yang erat hubungannya dengan perkawinan, yang dalam hal ini
adalah pengaturan dan pembagian harta kekayaan
dalam perkawinan setelah perkawinan itu putus. Hal ini dilatarbelakangi oleh
alasan bahwa suatu perkawinan haruslah ada suatu harta
yang digunakan untuk menunjang kehidupan perkawinan mereka, yaitu sesuatu yang
diperlukan untuk menunjang hidup dan kehidupan sepanjang perkawinan mereka.
Oleh karenanya, perlu diadakan pembagian harta kekayaan dalam perkawinan.
Membahas masalah harta bersama dalam
perkawinan, diperlukan pemikiran dalam tiga dimensi. Pertama, sebelum
perkawinan yang menyangkut harta kekayaan
yang dibawa masing-masing ke dalam perkawinan. Kedua, selama perkawinan adalah
mengenai harta kekayaan yang diperoleh suami istri selama dalam perkawinan. Ketiga, setelah perkawinan
yaitu pembahasan mengenai kedudukan masing-masing terhadap kekayaan
tersebut.
Dasar
hukum Islam tentang harta bersama suami isteri terdapat dalam Surat An Nisa
Ayat (32) yang berarti “Dan janganlah
kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih
banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian
dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian
dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari
karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.
Harta bersama baru dapat dibagi jika
perceraian telah terjadi. Dalam Pasal 86 Ayat
(1) Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama diatur bahwa
gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama
suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun
sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap. Ketentuan tersebut
menunjukkan bahwa harta bersama dapat dilakukan bersama-sama dalam suatu
putusan dengan pemberian izin perceraian.
Namun selain harta bersama, tidak menutup
kemungkinan adanya hutang bersama, yang diperoleh selama perkawinan. Ketentuan
mengenai hutang bersama ini diatur dalam Pasal 93 Ayat (2) Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan
bahwa pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk kepentingan
keluarga, dibebankan kepada harta bersama. Namun hal ini akan menjadi suatu
permasalahan ketika hutang bersama tidak dibebankan ke dalam harta bersama,
apalagi hal ini dikuatkan oleh putusan pengadilan, baik di tingkat pertama
maupun di tingkat banding.
Sebagai contoh perkara hutang suami dan
isteri yang tidak dibebankan ke dalam harta bersama, padahal hutang tersebut
adalah hutang bersama yaitu perkara Nomor 623/Pdt.G/2009/PA WTP., seorang suami
yang memohonkan cerai terhadap isterinya dengan alasan antara suami dan isteri
terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan
hidup rukun lagi dalam rumah tangga, dan kemudian direkonvensi oleh isterinya
tentang pembagian harta bersama tanpa memperhatikan hutang bersama. Salah satu
hutang bersama tersebut berupa kredit BRI yang masih sisa Rp 133.552.493,-
ditolak sebagai hutang bersama dan Majelis Hakim menyatakan bahwa hutang
tersebut adalah hutang pribadi suami selaku pemohon. Namun berdasarkan datum
yang diperoleh yang akan dijelaskan dalam pembahasan skripsi ini, hutang berupa
kredit BRI ini merupakan hutang bersama yang dilakukan oleh suami dan isteri
sebagai modal usaha bersama. Padahal telah jelas dalam Pasal 93 Ayat (2) Kompilasi Hukum
Islam yang mengatur tentang
pertanggungjawaban hutang bersama tersebut, bahwa pembayaran hutang yang
dilakukan untuk kepentingan keluarga dibebankan ke dalam harta bersama.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, hutang
bersama yang berupa kredit di BRI ini pun telah diakui oleh pihak yang
dimenangkan oleh Pengadilan Agama Watampone, yaitu pihak Termohon/Penggugat
Rekonvensi (isteri), yang dijelaskan pada duplik dalam konvensi dan replik
dalam rekonvensi. Pihak ini mengakui bahwa hutang di BRI ini merupakan hutang bersama
yang pembayarannya menjadi tanggung jawabnya bersama suami, karena hasil kredit
itulah yang dijadikan sebagai modal usaha bersama. Namun pengakuan sebagai alat bukti sempurna
ini diabaikan oleh hakim Pengadilan Agama yang memutus perkara ini. Hal inilah yang
melatarbelakangi penulis untuk menganalisis putusan Nomor
623/Pdt.G/2009/PA WTP. terhadap hutang bersama yang tidak dibagi, dengan kata
lain hutang bersama tersebut tidak dibebankan ke dalam harta bersama. Hutang bersama yang tidak dibebankan ke dalam
harta bersama menjadi masalah karena bertentangan dengan hukum yang berlaku.
Hal inipun menjadi alasan tidak diucapkannya ikrar talak oleh suami karena rasa
ketidakadilan yang ada dalam putusan Pengadilan Agama Watampone yang dikuatkan
oleh putusan banding di Pengadilan Tinggi Agama Makassar.
BAHAN DAN METODE
Lokasi dan Rancangan Penelitian
Untuk memperoleh informasi atau data yang akurat, yang berkaitan
dan relevan dengan permasalahan dan penyelesaian penulisan skripsi ini, maka
dipilih lokasi penelitian di Kabupaten Bone, yaitu Pengadilan Agama Klas IB
Watampone, dan di Kota Makassar, yaitu Pengadilan Tinggi Agama Makassar. Teknik
pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh data dan informasi adalah penelitian
lapangan (field research) yang dilakukan untuk memperoleh data primer dan data sekunder.
Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data primer dilakukan dengan menggunakan metode
quisioner kepada
hakim-hakim yang pernah memutus perkara hutang bersama, yaitu teknik pengumpulan data dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan
kepada hakim Pengadilan Agama Klas IB Watampone, Kabupaten Bone, dan Pengadilan
Tinggi Agama Makassar serta melakukan wawancara kepada hakim yang memutus perkara yang diangkat dalam
skripsi ini, yaitu teknik pengumpulan data dalam bentuk tanya jawab kepada hakim Pengadilan Agama Watampone dan hakim Pengadilan
Tinggi Agama Makassar dan pihak-pihak
yang bersengketa atau berperkara, serta pakar hukum di bidang Hukum Islam. Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara mengumpulkan
datum dari Pengadilan Agama Klas IB Watampone, Kabupaten Bone, yang berkaitan
dengan masalah yang dibahas dalam skripsi ini.
Data yang diperoleh atau yang berhasil dikumpulkan selama proses
penelitian, baik data primer maupun data sekunder, dianalisis secara kualitatif
kemudian disajikan secara deskriptif yaitu dengan menggambarkan, menguraikan,
dan menjelaskan sesuai dengan permasalahan yang erat kaitannya dengan
penelitian ini.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Faktor-Faktor
Penyebab Tidak Dibebankannya Hutang Bersama ke dalam Harta Bersama
Berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukan dengan memberikan quisioner kepada hakim-hakim
yang pernah memutus perkara hutang bersama dan wawancara kepada hakim di
Pengadilan Agama Klas IB Watampone, Kabupaten Bone, dan Pengadilan Tinggi Agama
Makassar yang memutus perkara yang diangkat dalam skripsi ini, ada beberapa
faktor tidak dibebankannya hutang bersama ke dalam harta bersama. Hal ini
berarti bahwa amanat Pasal 93 Kompilasi Hukum Islam tidak terpenuhi. Namun
berdasarkan pendapat hakim-hakim sebagai praktisi hukum (dari jawaban quisioner
terhadap dua belas hakim yang pernah memutus perkara tentang hutang bersama,
yang terdiri dari lima hakim Pengadilan Agama Watampone, yaitu Hakim A, Hakim
B, Hakim C, Hakim D, dan Hakim E, dan tujuh hakim Pengadilan Tinggi Agama
Makassar, yaitu Hakim T, Hakim U, Hakim V, Hakim W, Hakim X, Hakim Y, dan Hakim
Z), terdapat beberapa hal yang
menyebabkan pertanggungjawaban hutang bersama tidak dibebankan ke dalam harta
bersama, yaitu :
Pendapat hakim-hakim Pengadilan
Agama Watampone
Hakim-hakim Pengadilan Agama Watampone, yakni Hakim A,
Hakim B, Hakim C, Hakim D, dan Hakim E, memiliki satu pendapat yang sama
tentang pertanggungjawaban hutang bersama yang tidak dibebankan ke dalam harta bersama,
yaitu adanya kesepakatan di antara kedua belah pihak, yakni suami dan isteri,
yang bersepakat mengenai hal tersebut. Dalam perkara yang ditangani para hakim
tersebut, sebagian besar dari faktor penyebab tidak dibebankannya hutang
bersama ke dalam harta bersama yaitu adanya kesepakatan atau perdamaian dari
kedua belah pihak.
Selain itu, dari hasil wawancara dengan hakim yang
memutus perkara tersebut (Hakim F dan Hakim G di Pengadilan Agama Watampone)
menyatakan bahwa faktor penyebab tidak dibebankannya hutang bersama ke dalam
harta bersama yaitu adanya kesepakatan perdamaian di antara kedua belah pihak. Dalam praktiknya, terkadang suami yang menanggung semua hutang
bersama tersebut, terkadang pula isteri yang menanggungnya. Namun sebagian
besar putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Watampone, hutang bersama
yang digunakan untuk kepentingan keluarga dibagi seperdua kepada masing-masing
pihak yang berperkara. Hakim G yang juga diwawancarai di ruangan yang berbeda
di Pengadilan Agama Watampone menyatakan hal yang sama dengan pernyataan Hakim
F mengenai pertanggungjawaban hutang bersama tersebut.
Pendapat
hakim-hakim Pengadilan Tinggi Agama Makassar
Hakim-hakim Pengadilan Tinggi Agama Makassar, yakni Hakim T, Hakim
U, Hakim V, Hakim W, Hakim X, Hakim Y, dan Hakim Z, mempunyai pendapat yang berbeda-beda mengenai
faktor-faktor penyebab tidak dibebankannya hutang bersama ke dalam harta
bersama. Berdasarkan hasil quisioner kepada tujuh hakim di atas, faktor-faktor
penyebab tidak dibebankannya hutang bersama ke dalam harta bersama dinyatakan
oleh Hakim T, bahwa pertanggungjawaban hutang bersama ini tergantung dari
kasusnya. Hal ini berarti bahwa pembayaran hutang bersama yang tidak dibebankan
ke dalam harta bersama suami dan isteri yang bercerai harus melihat kasusnya
terlebih dahulu untuk menentukan pertimbangan hukum mengenai pertanggungjawaban
hutang bersama tersebut. Adapun Hakim U menyatakan bahwa faktor penyebab tidak
dibebankannya hutang bersama ke dalam harta bersama karena biasanya salah satu pihak
pemboros, baik suami ataupun isteri, sehingga harta bersama tidak dibagikan
kepada pihak yang boros tersebut, sedangkan Hakim V dan Hakim X memiliki
pendapat yang sama bahwa faktor penyebab tidak dibebankannya hutang bersama ke
dalam harta bersama karena hutang itu ada hanya dengan persetujuan sepihak atau
disembunyikan, apabila salah satu berutang bukan karena untuk kepentingan
keluarga, melainkan untuk kepentingan lain, serta tidak disepakati adanya
hutang tersebut atau salah satu pihak tidak mengetahui adanya hutang tersebut.
Hakim W menyatakan bahwa faktor penyebab tidak dibebankannya hutang bersama ke
dalam harta bersama yaitu jika ada kerelaan dari kedua belah pihak (ada
kesepakatan) bahwa hutang tersebut ditanggung oleh suami atau isteri, harta bersama
tidak ada atau tidak mencukupi, dan ada perjanjian sebelumnya. Hakim Y memiliki
pendapat yang sama menyatakan bahwa faktor penyebab tidak dibebankannya hutang
bersama ke dalam harta bersama yaitu apabila keduanya meminta agar hutang
tersebut dibayarkan oleh suami sebagai kompensasi dari biaya yang telah diambil
lebih dahulu atau sebaliknya (tergantung bagaimana kehendak kedua belah pihak
jika ada kesepakatan), serta Hakim Z menyatakan bahwa faktor penyebab tidak
dibebankannya hutang bersama ke dalam harta bersama yaitu ketidaktahuan salah
satu pihak atas hutang yang dilakukan oleh suami atau isterinya.
Upaya Hukum yang Dapat Dilakukan terhadap
Hutang Bersaa yang Tidak Dibebankan ke Dalam Hart Bersama
Seperti yang telah dijelaskan di atas,
bahwa salah satu contoh perkara yang dibahas dalam jurnal ini adalah putusan Pengadilan Agama Watampone yang memeriksa dan mengadili perkara
tertentu pada tingkat pertama menjatuhkan putusan dengan nomor register perkara
623/Pdt.G/2009/ PA Wtp. yang merupakan perkara cerai talak antara A. Junandar
bin A. Rahman sebagai Pemohon dengan A. Nurrahma binti Mappatanra sebagai
Termohon. Pemohon yang
menceraikan isterinya beralasan bahwa harapan untuk hidup rukun sudah tidak ada
lagi, sehingga Pengadilan Agama Watampone mengabulkan permohonan perceraian
Pemohon. Pemohon menyatakan bahwa awal kehidupan rumah tangganya dengan
isterinya hidup rukun. Akan tetapi setelah satu bulan dari perkawinan rumah
tangga keduanya mulai timbul perselisihan dan pertengkaran karena Termohon dianggap
tidak taat kepada Pemohon sebagai suaminya. Pemohon yang diwawancarai
menyatakan bahwa Termohon selalu tidak menghiraukan dan meninggalkan Pemohon
bila dinasehati, sehingga keduanya tiga kali pisah tempat tinggal. Rumah tangga
keduanya akhirnya tidak bisa dipertahankan lagi karena Termohon meninggalkan
Pemohon tanpa izin selama satu tahun lima bulan. Pemohon dan Termohon telah
melakukan proses mediasi berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun
2008, tetapi upaya mendamaikan kedua belah pihak tidak berhasil, sehingga
dikeluarkan putusan perceraian diantara keduanya.
1. Hutang
tersebut untuk kepentingan keluarga, bukan untuk kepentingan lain.
2. Atas kesepakatan bersama.
3. Hutang tersebut dilakukan selama perkawinan
berlangsung.
Ketiga syarat di atas dimiliki oleh kredit BRI yang dilakukan oleh
Pemohon dan Termohon, sehingga hutang tersebut adalah hutang bersama, bukan
hutang pribadi seperti yang disebutkan oleh Majelis Hakim yang menangani
perkara ini. Adapun hal-hal yang merupakan bukti bahwa kredit BRI ini adalah
hutang bersama yaitu adanya pengakuan kedua belah pihak. Pemohon yang tentu
saja mengakui bahwa kredit BRI ini merupakan hutang bersama, dan Termohon
(isteri) juga mengakui bahwa kredit di BRI ini merupakan hutang bersama antara
pemohon dan termohon. Pengakuan ini dituliskan oleh Termohon
dalam duplik dalam konvensi dan replik dalam rekonvensi. Termohon bahkan
meminta kepada Majelis Hakim agar hutang bersama ini dibayarkan dari harta
bersama antara Pemohon dan Termohon. Pada masa sekarang, apalagi yang menyangkut tentang
harta bersama, diperlukan persetujuan suami dan isteri. Persetujuan suami dan
isteri menjadi syarat dalam pengambilan kredit di Bank. Namun pengakuan yang menjadi alat bukti sempurna dalam masalah
kebendaan (harta) ini diabaikan oleh Majelis Hakim.
Berdasarkan hasil wawancara terhadap Pemohon dan Termohon yang
dilakukan di dua tempat berbeda (di rumah masing-masing), keduanya mengakui
hutang bersama berupa kredit BRI dan diabaikan oleh Majelis Hakim, padahal
kedua belah pihak yang melakukan hutang tersebut mengakui bahwa hal ini
merupakan hutang bersama. Selain bukti duplik dalam konvensi dan replik dalam
rekonvensi, hal-hal yang
perlu ditelaah mengenai pertimbangan
hakim dengan garis besar yang menyatakan bahwa :
1.
Permohonan
kredit di BRI ditandatangani berdua.
2.
Termohon
(isteri) tidak tahu uang pinjaman tersebut.
3.
Keterangan
ini terungkap di persidangan dan tidak dibantah oleh hakim.
Persyaratan untuk mengajukan permohonan kredit di bank, jika
pemohon berstatus kawin, maka harus ada persetujuan suami isteri. Hal inilah
yang kemudian
dipenuhi oleh Pemohon dan Termohon dengan
menandatangani permohonan tersebut. Secara tersirat, dalam pertimbangan hukum
Majelis Hakim yang menyatakan bahwa permohonan kredit BRI ditandatangani berdua
dan Termohon
tidak mengetahui uang pinjaman tersebut merupakan dua hal yang bertentangan.
Merupakan hal yang aneh bahwa permohonan kredit di BRI ditandatangani berdua
oleh Pemohon dan Termohon, akan tetapi Majelis Hakim menyatakan bahwa Termohon
tidak mengetahui uang pinjaman tersebut. Selain itu, Majelis Hakim menyatakan
bahwa keterangan tersebut tidak dibantah oleh Pemohon (suami), tetapi
berdasarkan hasil wawancara dengan Pemohon, Pemohon mengatakan bahwa ia
berkali-kali menolak (menyangkal) keterangan tersebut. Namun sanggahan pemohon
di persidangan ini tidak dituliskan dalam Berita Acara Persidangan yang dibuat
oleh Panitera Pengganti. Pengakuan Termohon (isteri) yang dituliskan di duplik
dalam konvensi dan replik dalam rekonvensi secara tegas meminta pembayaran
hutang bersama berupa kredit BRI ini dibebankan kepada keduanya karena uang
yang dipinjam dari BRI diambil sebagai modal usaha bersama, sehingga
pertimbangan hukum bahwa Termohon tidak mengetahui uang kredit tersebut tidak
terbukti.
Majelis Hakim yang menangani perkara hutang bersama tentunya harus
memperhatikan pengakuan para pihak di hadapan sidang dan pengakuan tertulis
para pihak tersebut. Berdasarkan hasil quisioner yang dilakukan kepada semua
hakim, baik di Hakim A, Hakim B, Hakim C, Hakim D, dan Hakim E di Pengadilan
Agama Watampone maupun Hakim T, Hakim
U, Hakim V, Hakim W, Hakim X, Hakim Y, dan Hakim Z di Pengadilan Tinggi Agama
Makassar selalu memperhatian pengakuan dan pernyataan para pihak dalam membuat
putusan, sehingga dengan memperhatikan hal tersebut dapat memberikan putusan
yang adil bagi pihak yang berperkara. Namun hal yang aneh ketika putusan
perkara nomor 623/Pdt.G/2009/PA Wtp. tidak mempertimbangkan keinginan para
pihak tentang pembayaran hutang bersama berupa kredit di BRI tersebut. Menurut
Hakim Y di Pengadilan Tinggi Agama Makassar yang diwawancarai mengenai perkara
di atas, jika hakim memutuskan apa yang tidak diminta oleh orang yang
berperkara, maka dapat dibatalkan oleh hakim yang di atasnya. Oleh karena
perkara di atas adalah perkara perdata, maka tetap apa yang menjadi keinginan
pihak yang berperkara, hakim tidak boleh memutuskan apa yang tidak diminta.
Jadi jika terbukti hartanya adalah harta bersama dan hutangnya adalah hutang
bersama, maka pembayarannya diambil dari harta bersama. Hal inilah yang
`terjadi dalam perkara yang dibahas dalam skripsi ini.
Menurut hasil wawancara yang dilakukan dengan Soekarno Aburaera,
seorang guru besar Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, dari segi
hukum acara perdata, jika para pihak yang berperkara sudah mengakui dan
membenarkan suatu hal, yang dalam hal ini hutang bersama, maka hakim tidak
boleh lagi mempertanyakan atau mempersoalkan pengakuan yang telah dibuat oleh
kedua pihak tersebut. Telah menjadi rumus hukum acara, bahwa hakim harus
memutus sesuai pengakuan. Pengakuan para pihak yang berperkara dalam Hukum
Acara Perdata merupakan bukti yang membenarkan hal-hal yang didalilkan dalam
gugatan, tetapi pengakuan tersebut harus bulat. Dalam teorinya, pengakuan
merupakan alat bukti yang memiliki kekuatan bukti sempurna yang berarti jika
ada pihak yang mengingkari pengakuannya, maka ia harus membuktikan bahwa
pengakuan itu tidak pernah diberikan ataukah pengakuan yang diberikan
berklausula (terpecah-pecah).
Dalam
putusan nomor 623/Pdt.G/2009/PA Wtp., terdapat pertimbangan hakim bahwa pada
saat pencairan kredit BRI, kedua belah pihak sudah pisah tempat tinggal.
Menurut Soekarno Aburaera, dalam Islam hanya dikenal pernikahan, suami-isteri,
atau cerai. Tidak dikenal adanya pisah tempat tinggal. Pisah meja dan ranjang
itu merupakan konsep Barat, sehingga dalam perkara ini, tidak tepat dikatakan
pisah tempat tinggal. Akan tetapi, untuk mempersoalkan putusan itu adalah hal
yang tidak mudah. Kembali pada pengakuan yang diabaikan itu, hakim tetap
keliru, karena suatu pengakuan yang telah dibuat oleh para pihak mengikat
hakim, misalnya saja seorang guru besar berhutang sejumlah uang kepada
mahasiswa biasa, secara logika, hal ini tidak masuk akal, namun jika guru besar
tersebut mengakui hutang tersebut, maka hakim tidak boleh mengabaikan pengakuan tersebut.
Terlepas dari hal tersebut, putusan yang mengabaikan pengakuan dari
para pihak yang berperkara, menurut para hakim di Pengadilan Tinggi Agama Makassar, putusan tersebut dapat dibatalkan oleh hakim yang lebih tinggi di
atasnya. Namun jika keadilan tersebut masih belum terpenuhi, tentu saja
berdampak negatif bagi para pencari keadilan seperti para pihak dalam perkara
nomor 623/Pdt.G/2009/PA Wtp. ini. Pihak yang dirugikan ini dapat mengajukan
upaya hukum.
Namun dalam hal
hakim memutus tidak sesuai pengakuan para pihak, tidak ada konsekuensi atau
sanksi bagi hakim tersebut. Oleh karena
pertimbangan hukum dan diktum itu kebal, seperti halnya hakim yang memiliki kekebalan
hukum dan di negara manapun hal ini tidak bisa dipersoalkan. Satu-satunya upaya
yang dapat dilakukan bagi para pihak untuk melawan pertimbangan hakim dan
diktum putusan, hanyalah melalui upaya hukum yang ada. Dengan kata lain,
kekebalan hakim dalam hal ini hanya bisa dilawan berdasarkan upaya hukum. Upaya
hukum tersebut terdiri dari upaya hukum biasa, yaitu verzet terhadap putusan verstek,
upaya hukum banding, dan upaya hukum kasasi, serta upaya hukum luar biasa yaitu
peninjauan kembali dan derdenverzet
(perlawanan pihak ketiga).
Dalam
perkara ini, suatu hal yang harus dipisahkan bahwa di satu sisi hakim keliru
dalam memutus, karena tidak memperhatikan pengakuan. Di sisi lain, putusan itu
tetap dianggap benar dan harus dilaksanakan, terlepas dari pengakuan yang
diabaikan oleh hakim tersebut. Namun ada solusi yang dapat ditempuh oleh pihak
yang kalah (dalam hal ini suami/Pemohon/Tergugat Rekonvensi/Pembanding) yaitu
melakukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Dalam
putusan hakim dalam perkara nomor 623/Pdt.G/2009/PA Wtp., hakim keliru dalam
memutus, yang diuraikan sebagai berikut :
1.
Dalam
pertimbangan hakim, dinyatakan bahwa kedua belah pihak sudah pisah tempat
tinggal. Hal ini tidak dapat menjadi alasan untuk menolak hutang bersama
tersebut, karena selain Islam tidak mengenal pisah tempat tinggal, juga para
pihak ini masih dalam status suami-isteri.
2.
Untuk
mengambil kredit di bank, tentunya harus ada persetujuan suami dan isteri. Dalam keadaan sekarang, setiap tindakan
dan perbuatan hukum yang dilakukan oleh suami atau isteri yang mengaitkan hal
tersebut dengan harta bersama, maka harus ada persetujuan suami dan isteri.
3.
Hutang
berupa kredit di BRI itu digunakan sebagai modal usaha bersama, yang kemudian
digunakan untuk membeli alat penggiling padi (yang ditetapkan oleh hakim
sebagai harta bersama), otomatis menjadi hutang bersama yang menjadi tanggung
jawab para pihak.
Perkara inipun dilakukan upaya hukum banding oleh pihak suami.
Suatu perbedaan dari pendapat hakim yang menyatakan bahwa pihak yang mengajukan
banding tidak jelas dalam permohonannya yang tertuang dalam memori banding.
Pihak tersebut, menurut hakim, tidak secara tegas mempersoalkan putusan hakim
yang menolak hutang bersama tersebut, sedangkan menurut Soekarno Aburaera,
hakim banding tidak terikat oleh memori banding, sehingga ketika suatu perkara
diajukan, maka hakim harus memeriksa semua berkas, dari berkas awal hingga
berkas akhir.
Menurut Ahmadi Miru, seorang pakar Hukum Islam yang juga guru besar
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, yang diwawancarai terkait perkara di
atas, hakim keliru dalam menerapkan hukum. Hakim harus mengikuti apa yang telah diakui oleh para
pihak. Jika pengakuan itu murni dari kedua belah pihak, maka selain sumpah,
alat bukti pengakuan juga sifatnya mengikat hakim. Putusan perkara nomor
623/Pdt.G/2009/PA Wtp. ini dapat diajukan peninjauan kembali, mengingat waktu
kasasinya telah lewat, dengan syarat-syarat tertentu, misalnya terdapat
kekeliruan hakim dalam memutus, dan sebagainya. Oleh karena perkara ini telah
lewat masa mengajukan kasasi, yaitu 14 hari setelah putusan banding dibacakan,
maka pihak yang keberatan dapat ditinjau kembali, dengan alasan-alasan yang
dapat ditempuh yaitu :
1. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat
pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus, atau didasarkan pada
bukti-bukti yang kemudian oleh hakim dinyatakan palsu.
2. Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang
bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak ditemukan.
3. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih
daripada yang dituntut.
4. Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa
dipertimbangkan sebab-sebabnya.
5. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau
suatu kekeliruan yang nyata.
Kelima alasan di atas dapat dijadikan pertimbangan bagi pihak yang
merasa dirugikan, karena ada solusi yang dapat ditempuh oleh pihak-pihak yang
merasa hak pribadinya dilanggar, yaitu dengan jalan upaya hukum di atas.
Hal
yang tetap harus diperhatikan oleh pihak yang berperkara, dalam hal ini Pemohon
selaku suami, adalah isi permohonannya. Seperti yang telah dijelaskan di atas,
bahwa hakim perdata hanya memutus apa yang diminta oleh pihak yang berperkara,
maka Pemohon yang memohonkan banding atas pembagian hutang bersama tersebut ke
Pengadilan Tinggi Agama Makassar harus jelas mencantumkan keberatannya dalam
memori bandingnya. Dalam memori bandingnya, Pemohon mengajukan keberatannya
atas putusan Pengadilan Agama Watampone tersebut, namun tidak secara gamblang
menyatakan keberatannya, sehingga Hakim Y yang diwawancarai mengatakan bahwa
Pemohon seharusnya menyatakan keberatannya secara tegas dan lugas. Hal ini
dapat memberikan petunjuk yang jelas kepada hakim banding dalam memeriksa
perkara tersebut. Namun seperti yang telah dinyatakan oleh Soekarno Aburaera, hakim tidak
terikat oleh memori banding. Hakim harus memeriksa dari berkas awal hingga
berkas akhir, namun untuk upaya hukum selanjutnya, hal permohonan tetap harus
diperhatikan oleh pihak yang merasa dirugikan.
Terkait dengan pendapat dari para pakar
hukum sebagai akademisi dan hakim sebagai praktisi, terdapat dua hal yang
berbeda antara keduanya. Pertama, hakim menyatakan menyatakan bahwa pihak yang mengajukan banding harus jelas dalam permohonannya yang dituangkan
dalam memori banding. Sedangkan menurut Soekarno Aburaera, hakim banding tidak
terikat oleh memori banding, sehingga ketika suatu perkara diajukan, maka hakim
harus memeriksa semua berkas, dari berkas awal hingga berkas akhir. Kedua, terkait
dengan ultra petita, hakim berpendapat bahwa hakim tidak boleh memutuskan apa yang tidak
diminta oleh pihak yang berperkara. Jika hakim memutuskan apa yang tidak
diminta oleh orang yang berperkara, dapat dibatalkan oleh hakim di atasnya,
karena perkara ini perkara perdata, jadi hakim harus tetap pada apa yang
menjadi keinginan pihak-pihak yang berperkara. Sedangkan menurut Soekarno
Aburaera, hakim bisa saja
melakukan hal tersebut. Walaupun dalam HIR dan RBg dinyatakan bahwa hakim tidak
dibenarkan memutus di luar apa yang diminta oleh para pihak yang berperkara.
Namun dalam beberapa perkara perdata, ultra petita bisa saja terjadi. Hal ini
didasarkan atas hukum dan keadilan, walaupun dalam prinsipnya hakim tidak dibenarkan memutus perkara
melebihi apa yang digugat.
Dari sisi keadilan, pihak-pihak yang merasa
dirugikan terhadap putusan di atas, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,
pihak-pihak tersebut dapat membuat
kesepakatan atau persetujuan tentang pembayaran hutang bersama tersebut.
Putusan hakim di atas bisa saja tidak dilaksanakan oleh kedua belah pihak,
walaupun di lain hal, putusan tersebut tetap dianggap benar. Namun semuanya
tergantung para pihak. Tidak menjadi persoalan ketika putusan tersebut tidak dilaksanakan
selama para pihak bersepakat mengenai hal ini. Selain itu, derdenverzet
atau perlawanan pihak ketiga dapat ditempuh. Pada asasnya suatu putusan
hanyalah mengikat para pihak yang berperkara dan tidak mengikat pihak ketiga.[1] Akan tetapi, apabila pihak
ketiga (dalam perkara ini BRI), hak-haknya dirugikan oleh putusan Nomor
623/Pdt.G/2009/PA Wtp., sehingga BRI dapat menempuh derdenverzet. Perlawanan ini diajukan kepada hakim Pengadilan Agama
Watampone dan juga dapat mengajukan perlawanan atas putusan Nomor
87/Pdt.G/2010/PTA Mks. yang dikeluarkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi
Agama Makassar, dengan menggugat para pihak yang bersangkutan dengan cara
biasa.
BRI sebagai pihak ketiga yang akan
mengajukan perlawaan atas putusan tersebut memiliki kepentingan dan hak-haknya
dirugikan, karena pembayaran kredit yang dilakukan oleh Pemohon dan Termohon
terkendala. Hal ini dikarenakan hasil kredit yang digunakan sebagau modal
bersama yang hasilnya dijadikan harta bersama oleh Majelis Hakim yang memutus
perkara tersebut, dibagi dua kepada Pemohon dan Termohon, namun yang
berkewajiban menanggung hanya Pemohon saja, sehingga tidak menutup kemungkinan
pembayaran kredit akan macet. Apabila perlawanannya itu dikabulkan, maka
putusan yang dilawan itu diperbaiki sepanjang merugikan pihak ketiga, yakni
BRI.
KESIMPULAN
DAN SARAN
Dari hasil quisioner yang diberikan kepada dua belas
hakim di atas, hutang bersama yang di dalam Pasal 93 Kompilasi Hukum Islam
harus dibebankan ke dalam harta bersama, karena hutang tersebut digunakan untuk
kepentingan keluarga, dalam praktiknya terkadang tidak sesuai dengan aturan
yang telah ditentukan tersebut. Faktor-faktor di atas menjadi penyebab tidak
dibebankannya hutang bersama ke dalam harta bersama yang biasanya dijadikan
pertimbangan hakim-hakim Pengadilan Agama Watampone dan Pengadilan Tinggi Agama
Makassar dalam memutus perkara hutang bersama.
DAFTAR
PUSTAKA
Ali, Muhammad
Daud. 1993. Hukum Keluarga Dalam Masyarakat Islam Kontemporer, dalam Mimbar
Hukum. Jakarta : PT Intermasa.
____________________. 2007. Hukum Islam. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
Azhary, H.M.
Tahir. 1994. Analisis Yurisprudensi : Tentang Perceraian, dalam Mimbar Hukum.
Jakarta : PT Intermasa.
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan RI. 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi II. Jakarta : Balai Pustaka.
Hadikusuma, Hilman. 1990. Hukum
Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan Hukum Adat Hukum Agama.Bandung : Mandar Maju.
Harahap, M. Yahya. 1975. Hukum Perkawinan Nasional. Medan : Zahir Trading.
_______________.
1995. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama. Jakarta : Pustaka Kartini.
Jafizham, T.. 1977. Persentuhan Hukum Di Indonesia dengan Hukum Islam. Medan : CV Mestika.
Manan, Abdul. 2005. Penerapan Hukum Acara
Perdata di Lingkungan Peradilan Agama. Jakarta : Prenada Media.
Mertokusumo,
Sudikno. 2002. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta : Liberty.
Satrio, J.. 1991. Hukum Harta Perkawinan. Bandung : PT Citra Aditya
Bakti.
Soemiyati. 2004. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan. Yogyakarta : Liberty.
Supriadi, Wila
Chandrawila. 2002. Hukum Perkawinan Indonesia dan Belanda. Bandung : Mandar
Maju.
Sutantio,
Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata. 2005. Hukum Acara Perdata dalam Teori
dan Praktek. Bandung : Mandar Maju.
Thalib, Sayuti. 1974. Hukum
Kekeluargaan Indonesia (berlaku bagi umat Islam). Jakarta : Universitas Indonesia
Sumber Bacaan
Ilmiah :
Kardiansyah, Achmad. 2008.
Harta Bersama Sebagai Objek Jaminan Hak Tanggungan (Studi di Pengadilan
Tanjung Karang). Semarang : Universitas
Diponegoro.
Karyoso, Djoko. 2008. Pelaksanaan Pembagian Harta
Perkawinan sebagai Akibat Perceraian bagi Warga Negara Indonesia Keturunan
Tionghoa Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Semarang : Universitas Diponegoro.
Lubis, Andayanti. 2009. Kajian Yuridis
Pertanggungjawaban Atas Harta Bawaan Isteri terhadap Hutang Suami dengan
Jaminan Harta Bersama (Studi Kasus Putusan Nomor :295/Pdt.G/2001/PN Mdn).
Semarang : Universitas Diponegoro. Semarang.
Prabandari, Evi Widyagung. 2009. Perlindungan
Hukum terhadap Isteri atas Masalah Harta yang dipersengketakan dalam Gugatan
Harta Bersama dalam perkara Perceraian (Studi di Pengadilan Agama Makassar).
Semarang : Universitas Diponegoro.
Wanti, Noni.2005.
Tanggung Jawab Isteri terhadap Hutang yang Diperbuat Suami yang Menjaminkan
Harta Bersama (Penelitian di Kota Medan). Medan : Universitas Sumatera Utara.
Sumber Internet :
http://www.pnpandeglang.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=87. Diakses pada hari Sabtu, 27 Agustus
2011, jam 12.17 WITA.
http://opi.110mb.com/faraidweb/15_BeberapaPertanyaanSeputarHartaWarisan.html. Diakses pada hari Sabtu, 27 Agustus
2011, jam
12.28 WITA.
http://idb4.wikispaces.com/file/view/ws4003.pdf. Diakses pada hari Sabtu, 27 Agustus
2011, jam 12.28 WITA.
http://www.pawaingapu.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=70:komulasi-gugat-dalam-perkara-perceraian-dan-harta-bersama&catid=34:artikel&Itemid=53. Diakses pada hari Sabtu, 27 Agustus 2011, jam 12.36 WITA.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/5515/1/09E02299.pdf. Diakses pada hari Sabtu, 27 Agustus 2011, jam 12.37 WITA.
http://www.pa-tanjungkarang.go.id/artikel-menu-kiri-168/185-penyelesaian-sengketa-harta-bersama-kewenangan-siapa.html. Diakses pada hari Sabtu, 27 Agustus
2011, jam 12.38 WITA.