1.
Bandingkan gadai
menurut BW dan menurut Rumah Gadai Negara (PT.Penggadaian). Tuliskan persamaan
dan perbedaannya !
JAWABAN :
·
Persamaan gadai
menurut BW dan menurut Rumah Gadai Negara (PT.Penggadaian) :
a. Keduanya merupakan perutangan
yang timbul dari perjanjian timbal-balik di lapangan hukum harta kekayaan.
b. Benda yang digadaikan harus
diserahkan ke dalam kekuasaan si pemegang gadai atau kreditor.
·
Perbedaan gadai
menurut BW dan menurut Rumah Gadai Negara (PT.Penggadaian) :
a. Gadai Pasal 1150 BW, gadai adalah “Suatu hak yang
diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan
kepadanya oleh seorang berutang atau seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si
berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara
didahulukan dari pada orang-orang berpiutang lainnya; dengan kekecualian biaya
untuk melelang barang-barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk
menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus
didahulukan”. Sedangkan gadai menurut Pegadaian, “pinjam
– meminjam uang untuk batas waktu tertentu dengan menyerahkan barang sebagai
tanggungan, jika telah sampai pada waktunya tidak tertebus barang itu menjadi
hak yang memberi jaminan”. Pengertian
tersebut menunjukkan
bahwa pengertian gadai didasarkan pada hukum adat yang berkembang di Indonesia.
Hal ini terlihat pada benda yang menjadi jaminan atas piutang dapat menjadi
milik si pemberi pinjaman jika yang berpiutang tidak membayarkan utangnya. Perkataan “gadai” di dalam persepsi Perusahaan Umum (Perum)
Pegadaian di kenal dengan istilah “Kredit gadai”. Menurut Pedoman Operasional
Kantor Cabang Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian, Bab III Mengenai Pengelolaan
Kredit Gadai, yang dimaksud dengan “Kredit Gadai” adalah pemberian pinjaman (kredit) dalam
jangka waktu tertentu kepada nasabah atas dasar hukum gadai dan persyaratan
tertentu yang telah ditetapkan perusahaan. Nasabah menyelesaikan pinjamannya
kepada perusahaan (Pegadaian) sebagai pemberi pinjaman (kreditur), dengan cara
mengembalikan uang pinjaman dan membayar sewa modalnya berdasarkan ketentuan
yang berlaku.
b. Gadaididalam Pasal 1150 BW tidak mengenal adanya jangka waktu,
sewa modal atau lazim dikenal dengan bunga, dan syarat-syarat lain, sedangkan Pegadaian mengenal adanya jangka
waktu, sewa modal atau lazim dikenal dengan bunga, dan syarat-syarat lain yang
telah ditetapkan oleh perusahaan sehingga pengertiannya lebih jelas dan
sifatnya lebih khusus.
c. Dalam BW,
penerima gadai harus melaporkan pinjaman yang macet (wanprestasi) kepada
pemberi gadai, sedangkan pegadaian tidak
melaporkan pinjaman yang macet tersebut,
hal ini karena pegadaian memiliki barang yang digadaikan secara fisik dan mampu
mengembalikan uang yang dipinjam dengan melelang
barang yang digadai tersebut.
d. Transaksi di pegadaian merupakan transaksi jual yang
mandiri, dengan membolehkan benda tidak bergerak sebagai objek gadai. Sedangkan dalam BW, gadai merupakan perjanjian accessoir (tambahan) pada perjanjian
utang uang selaku perjanjian principaalnya, dengan benda bergerak yang
berwujud, hak-hak untuk memperoleh pembayaran uang (surat-surat piutang kepada
si pembawa, atas nama, atas tunjuk) selaku tanggungan/jaminan. Menurut BW,
benda tak bergerak merupakan objek perjanjian accessoir yang disebut hypotheek.
e. Pegadaian berhak memanfaatkan dan memetik
hasil dari benda gadainya, sedangkan kekuasaan penerima gadai tidak meliputi hak memakai,
memungut hasil, menyewakannya, dan sebagainya.
f. Pegadaian tidak dapat memaksa pemberi gadai menebus objek transaksinya. Sebaliknya
setiap waktu benda itu ditebus, ia harus mengembalikannya. Meskipun transaksi
itu diberi batas waktu tertentu, namun hak menebus pemberi gadai tidak lenyap karena daluarsa. Namun
Pegadaian berwenang melelang barang gadai. Sedangkan dalam BW, pemberi gadai harus melunasi utangnya dalam waktu
yang telah ditetapkan bersama. Jika lalai dalam hal itu, si pemegang gadai tidak berwenang mengambil benda
jaminan, melelang barang gadai itu atas kekuasaan sendiri, untuk
memperoleh pelunasan dari piutangnya.
2.
Apakah fidusia lahir
pada saat dibuat dihadapan notaris atau pada saat didaftarkan pada Kantor Wilayah
Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia ?
JAWABAN :
Fidusia sendiri
lahir ketika jaminan fidusia didaftarkan pada Buku Daftar Fidusia pada kantor
pendaftaran jaminan fidusia. Perjanjian yang dibuat di hadapan notaris hanyalah
untuk memperkuat kekuatan hukum pada jaminan fidusia dan lebih memberikan
perlindungan baik bagi debitor dan juga kreditor. Masalahnya jaminan fidusia baru berlaku pada saat didaftarkan bukan pada saat
dibuatnya akta jaminan fidusia, sementara UU Fidusia maupun PP-nya tidak
mengatur kapan suatu Objek Fidusia harus didaftarkan. Sementara dalam Pasal 15
ayat (2) Sertifikat Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama
dengan putusan pengadilan, artinya jika debitor cidera janji, maka kreditor
mempunyai hak untuk melakukan eksekusi sendiri atas objek jaminan fidusia yaitu
dengan melakukan pengambilan dan menjual objek jaminan fidusia atas kekuasaan
sendiri. Konsekuensi logisnya adalah jika kreditor tidak mempunyai sertifikat
jaminan fidusia, maka kreditor tidak berwenang untuk melakukan eksekusi, atau
dengan kondisi lain debitor berhak mengalihkan Objek Fidusia sebelum Objek
fidusia didaftarkan (Ps. 36 UU Fidusia: ketentuan pidana bagi Debitor yang
mengalihkan Objek Fidusia tanpa persetujuan Kreditor). Idealnya adalah
pemberlakuan tanggal pendaftaran Sertifikat Jaminan Fidusia diberlakukan sama
dengan tanggal pada saat pembuatan Akta Jaminan Fidusia, selain itu ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang Jaminan Fidusia harus mengatur kapan
suatu Objek Jaminan Fidusia wajib didaftarakan, dan apa konsekuensinya jika
Objek Jaminan Fidusia tidak didaftarkan namun hanya dibuat Akta Jaminannya
saja. Dengan demikian hak penerima fidusia dapat terlindungi secara utuh, dan
pemberi fidusia tidak salah memperlakukan suatu Objek Jaminan Fidusia yang
masih dalam penguasaannya.Namun apabila
fidusia tidak didaftarkan ke Kementerian
Hukum dan HAM melalui notaris, maka fidusia itu batal
demi hukum berdasarkan UU No.42 Tahun 1999
tentang Jaminan Fidusia.
3.
Komentari Pasal 27 pada Undang-Undang
Fidusia, apa pasal ini tepat atau tidak !
JAWABAN :
Pasal
27
(1) Penerima
Fidusia memiliki hak yang didahulukan terhadap kreditor lainnya.
(2) Hak yang didahulukan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) adalah hak Penerima Fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya
atas hasil eksekusi Benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia.
(3) Hak yang didahulukan dari Penerima Fidusia
tidak hapus karena adanya kepailitan dan/atau likuidasi Pemberi Fidusia.
Kesalahan
dalam Pasal 27 UUJF ini terlihat dalam ayat (3) yang menyatakan bahwa hak yang
didahulukan dari Penerima Fidusia tidak hapus karena adanya kepailitan.
Dalam Pasal 55 ayat (1) UU No. 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang
menentukan “dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, setiap Kreditor pemegang hak gadai, jaminan
fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat
mengeksekusi hak-haknya seolah-oleh tidak terjadi kepailitan.” Jadi berdasarkan ketentuan kepailitan, sudah
seharusnya pemegang hak fidusia, boleh melaksanakan
eksekusi atas barang yang menjadi jaminan seolah-olah tidak ada putusan
kepailitan. Hal demikian diberikan oleh undang-undang disebabkan benda yang
menjadi jaminan fidusia tidak termasuk dalam budel pailit. Namun akan menjadi budel
pailit apabila pemegang hak di muka gagal melaksanakan haknya setelah waktu
selama dua bulan berjalan.
4.
Apakah
pendaftaran fidusia merupakan suatu keharusan ?
JAWABAN :
Menurut
Pasal
11 ayat (1) UUJF, benda
yang dibebani dengan Jaminan Fidusia wajib didaftarkan. Namun Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) menyatakan pendaftaran jaminan fidusia tidak wajib dilakukan jika suatu perusahaan pembiayaan
tidak melakukan pembebanan jaminan pada nasabah.Pendaftaran jaminan fidusia
bukanlah hal wajib bagi perusahaan multifinance
yang menyalurkan pembiayaan untuk kendaraan bermotor. Menurutnya wajib
pendaftaran fidusia hanya berlaku bagi multifinance
yang memberlakukan pembebanan jaminan fidusia kepada nasabah.Sebelumnya Menteri
Keuangan menetapkan peraturan terkait pembiayaan kendaraan bermotor yaitu
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/2012 yang berlaku Oktober
2012.Salinan PMK Nomor 130/PMK.010/2012 itu mengatur tentang pendaftaran
jaminan fidusia bagi perusahaan pembiayaan yang melakukan pembiayaan konsumen
untuk kendaraan bermotor dengan pembebanan jaminan fidusia.Kewajiban
pendaftaran jaminan fidusia tersebut berlaku pula bagi Perusahaan Pembiayaan
yang melakukan:
a) pembiayaan konsumen kendaraan bermotor
berdasarkan prinsip syariah;
b) dan/atau pembiayaan konsumen kendaraan bermotor
yang pembiayaannya berasal dari pembiayaanpenerusan (channeling) atau pembiayaan bersama (joint financing).
5.
Apakah ada
tingkatan-tingkatan dalam fidusia ?
JAWABAN :
Pasal 8 UUJF menyatakan bahwa jaminan
Fidusia dapat diberikan kepada lebih dari satu Penerima Fidusia atau kepada
kuasa atau wakil dari Penerima Fidusia tersebut.Sebuah benda dapat difidusiakan
lebih dari satu kali. Atau dengan kata lain sebuah benda dapat menjadi jaminan lebih dari satu
hutang. Dari sisi hukum menyatakan
adanya tingkatan dalam jaminan fidusia selama nilai
jaminan tersebut masih mencukupi.Namun bank pada umumnya tidak menghendaki bila
jaminan aset bergerak yang diikat secara fidusia harus berbagi dengan bank lain
(walaupun dalam penerapannya ada sistem peringkat), karena umumnya bank ingin
memiliki hak preferen terhadap aset yang diikatnya.
6.
Berikan uraian
mengenai hipotik batas pesawat udara. Apa dasar hukum, subjek hukum, bagaimana
prosedur tata cara dan pembebanan haknya !
JAWABAN :
- Dasar Hukum :
Secara
yuridis pesawat terbang atau helikopter merupakan benda yang dapat dijadikan
sebagai jaminan pelunasan suatu utang (agunan) sepanjang pesawat terbang atau
helikopter tersebut telah mempunyai tanda pendaftaran dan kebangsaan Indonesia.
Hal tersebut diatur dalam Pasal 13 Undang-Undang No. 15 tahun 1992 tentang
Penerbangan yang secara lengkap berbunyi sebagai berikut :
(1) Pesawat terbang dan helikopter yang telah
mempunyai tanda pendaftaran dan kebangsaan Indonesia dapat dibebani Hipotek.
(2) Pembebanan Hipotek pada pesawat terbang dan
helikopter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didaftarkan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran
hipotek pesawat udara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Berdasarkan
seluruh penjelasan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengikatan
pesawat terbang dan helikopter dilaksanakan melalui pembebanan hipotik.
- Subjek Hukum
Subyek Hukum
dalam pasal 2 dan 3yaitu yang dapat
menjadi penerima hipotik sebagai kreditur pesawat udara adalah Warga Negara
Indonesia (WNI), badan hukum Indonesia, Warga Negara Asing (WNA), atau badan
hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia. Jika orang/badan hukum asing
dapat mendaftarkan pesawat udaranya dengan kebangsaan Indonesia, maka hipotik
pesawat udara yang dimilikinya pun dapat dibebankan hipotik menurut hukum
Indonesia. Sebab, tempat pendaftaran hipotik pesawat udara didasarkan pada
dimana pesawat udara tersebut didaftarkan dan memiliki kebangsaan, bukan pada dimiliki
oleh warga Negara/badan hukum mana (asing atau bukan).Dalam hal ini, tidak
semua pesawat terbang dapat mempunyai tanda pendaftaran Indonesia, kecuali
pesawat terbang Sipil yang tidak didaftarkan di negara lain dan memenuhi salah
satu ketentuan dan syarat dibawah ini :
• Dimiliki oleh Warga Negara Indonesia atau
dimiliki oleh Badan Hukum Indonesia;
• Dimilikioleh Warga Negara Asing atau Badan
Hukum Asing dan dioperasikan oleh Warga Negara Indonesia atau Badan Hukum
Indonesia untuk jangka waktu pemakaian minimal 2 (dua) tahun secara terus
menerus berdasarkan suatu perjanjian sewa beli, sewa guna usaha, atau bentuk
perjanjian lainnya;
- Prosedur dan Tata cara Pembebanan Hipotik
Pesawat Udara
Peraturan
pemerintah yang mengatur mengenai pembebanan hipotek atas pesawat terbang
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 13 ayat (3) UU No. 15 tahun 1992 tentang
Penerbangan sampai saat ini belum direalisasikan, sehingga pelaksanaan
pembebanan Hipotek atas Pesawat Terbang masih belum jelas dan belum bersifat nasional,
yang artinya tidak semua Dinas Perhubungan (yang nantinya diharapkan sebagai
badan yang melakukan registrasi terhadap pembebanan Hipotek atas Pesawat
Terbang) dapat menerima atau bersedia melakukan pencatatan terhadap pembebanan
Hipotek atas pesawat terbang, atau dengan kata lain belum ada badan yang
ditunjuk secara resmi sebagai badan yang berwenang melakukan registrasi
terhadap pembebanan Hipotek atas pesawat terbang, sebagaimana Kantor
Pendaftaran Fidusia dalam hal pembebanan Fidusia, Kantor Pertanahan (BPN) dalam
hal pembebanan Hak Tanggungan atau Kantor Syahbandar dalam hal pembebanan
Hipotek atas kapal.Terkait dengan pengaturan pesawat udara sebagai agunan
(jaminan) utang, pertama kali aturan yang diperkenalkan adalah melalui
Keputusan Menteri Perhubungan No.13/S/1971 (“Kep Menhub No.13/S/1971”).
Selanjutnya, untuk menjelaskan jaminan pesawat udara, diterbitkan Surat Edaran
Menhub No.01/ED/1971 (“SE”) yang memberikan penjelasan pasal 11 Kep Menhub
No.13/S/1971. SE tersebut diantaranya menjelaskan bahwa mortgage atas pesawat
udara tidak mutlak diberikan dan diadakan di Indonesia, melainkan dapat pula
dilakukan di luar negeri, asalkan prosedurnya sesuai dengan hukum yang berlaku
di Negara tersebut dan terdapat suatu ketentuan yang menentukan hukum Negara
mana yang akan berlaku. Sebelum mortgage atas pesawat udara dapat dicatatkan
pada Departemen Perhubungan. Ditjen Perhubungan Udara, mortgage yang diadakan
di luar negeri tersebut harus ditetapkan kembali (diverifikasi) oleh notaris di
Indonesia.
Kep Menhub No.13/S/1971 tak berlaku lagi sejak terbitnya Kep Menhub No.KM 65/2000 yang kemudian dicabut dengan Kep Menhub No.KM 82/2004 tentang Prosedur Pengadaan Pesawat Terbang dan Helikopter. Pasal 7 Kep Menhub No.KM 82/2004 mengatur bahwa dalam hal pesawat terbang dan helikopter dibebani hak kebendaan (hipotik atau mortgage), pihak yang akan mengalihkannya wajib mencatatkan pada Ditjen Perhubungan Udara dengan menyampaikan bukti pengikatan hak kebendaan tersebut. Sesungguhnya amanat diaturnya hukum tentang agunan atas pesawat udara sudah ada sejak diundangkannya UU No.15 tahun 1992 tentang Penerbangan (“UU Penerbangan”) tanggal 25 Mei 1992. Pendaftaran atau Registrasi khusus untuk pembebanan pesawat terbang dan helikopter baik dalam bentuk hipotek atau hak agunan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku belum tersedia.
Selain tanda pendaftaran Indonesia, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 10 UU Penerbangan, pesawat terbang dan helikopter yang akan dioperasikan di Indonesia wajib pula mempunyai tanda kebangsaan Indonesia. Tanda kebangsaan Indonesia dimaksud hanya akan diberikan kepada pesawat terbang dan helikopter yang telah mempunyai tanda pendaftaran Indonesia. Persyaratan dan tata cara memperoleh dan mencabut tanda kebangsaan Indonesia bagi pesawat terbang dan helikopter dan jenis-jenis tertentu dari pesawat terbang dan helikopter yang dapat dibebaskan dari kewajiban memiliki tanda kebangsaan Indonesia, akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.Dengan diterapkannya pendaftaran terhadap Pesawat Terbang, maka memberikan sifat hak kebendaan yang kuat kepada pemilik dan hak itu mengikuti bendanya ditangan siapapun benda itu berada. Dalam praktek, hal ini memberikan perlindungan yang kuat kepada pemilik, karena pemilik dapat mempertahankan haknya terhadap khalayak umum (publik).
Dengan demikian secara yuridis pesawat terbang atau helikopter merupakan benda yang dapat dijadikan sebagai jaminan pelunasan suatu utang (agunan) sepanjang pesawat terbang atau helikopter tersebut telah mempunyai tanda pendaftaran dan kebangsaan Indonesia. Hal tersebut diatur dalam Pasal 13 Undang-Undang No. 15 tahun 1992 tentang Penerbangan yang dapat disimpulkan bahwa pengikatan pesawat terbang dan helikopter dilaksanakan melalui pembebanan hipotik.Peraturan pemerintah yang mengatur mengenai pembebanan hipotek atas pesawat terbang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 13 ayat (3) UU No. 15 tahun 1992 tentang Penerbangan sampai saat ini belum direalisasikan, sehingga pelaksanaan pembebanan Hipotek atas Pesawat Terbang masih belum jelas dan belum bersifat nasional, yang artinya tidak semua Dinas Perhubungan (yang nantinya diharapkan sebagai badan yang melakukan registrasi terhadap pembebanan Hipotek atas Pesawat Terbang) dapat menerima atau bersedia melakukan pencatatan terhadap pembebanan Hipotek atas pesawat terbang, atau dengan kata lain belum ada badan yang ditunjuk secara resmi sebagai badan yang berwenang melakukan registrasi terhadap pembebanan Hipotek atas pesawat terbang, sebagaimana Kantor Pendaftaran Fidusia dalam hal pembebanan Fidusia, Kantor Pertanahan (BPN) dalam hal pembebanan Hak Tanggungan atau Kantor Syahbandar dalam hal pembebanan Hipotek atas kapal.
Kep Menhub No.13/S/1971 tak berlaku lagi sejak terbitnya Kep Menhub No.KM 65/2000 yang kemudian dicabut dengan Kep Menhub No.KM 82/2004 tentang Prosedur Pengadaan Pesawat Terbang dan Helikopter. Pasal 7 Kep Menhub No.KM 82/2004 mengatur bahwa dalam hal pesawat terbang dan helikopter dibebani hak kebendaan (hipotik atau mortgage), pihak yang akan mengalihkannya wajib mencatatkan pada Ditjen Perhubungan Udara dengan menyampaikan bukti pengikatan hak kebendaan tersebut. Sesungguhnya amanat diaturnya hukum tentang agunan atas pesawat udara sudah ada sejak diundangkannya UU No.15 tahun 1992 tentang Penerbangan (“UU Penerbangan”) tanggal 25 Mei 1992. Pendaftaran atau Registrasi khusus untuk pembebanan pesawat terbang dan helikopter baik dalam bentuk hipotek atau hak agunan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku belum tersedia.
Selain tanda pendaftaran Indonesia, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 10 UU Penerbangan, pesawat terbang dan helikopter yang akan dioperasikan di Indonesia wajib pula mempunyai tanda kebangsaan Indonesia. Tanda kebangsaan Indonesia dimaksud hanya akan diberikan kepada pesawat terbang dan helikopter yang telah mempunyai tanda pendaftaran Indonesia. Persyaratan dan tata cara memperoleh dan mencabut tanda kebangsaan Indonesia bagi pesawat terbang dan helikopter dan jenis-jenis tertentu dari pesawat terbang dan helikopter yang dapat dibebaskan dari kewajiban memiliki tanda kebangsaan Indonesia, akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.Dengan diterapkannya pendaftaran terhadap Pesawat Terbang, maka memberikan sifat hak kebendaan yang kuat kepada pemilik dan hak itu mengikuti bendanya ditangan siapapun benda itu berada. Dalam praktek, hal ini memberikan perlindungan yang kuat kepada pemilik, karena pemilik dapat mempertahankan haknya terhadap khalayak umum (publik).
Dengan demikian secara yuridis pesawat terbang atau helikopter merupakan benda yang dapat dijadikan sebagai jaminan pelunasan suatu utang (agunan) sepanjang pesawat terbang atau helikopter tersebut telah mempunyai tanda pendaftaran dan kebangsaan Indonesia. Hal tersebut diatur dalam Pasal 13 Undang-Undang No. 15 tahun 1992 tentang Penerbangan yang dapat disimpulkan bahwa pengikatan pesawat terbang dan helikopter dilaksanakan melalui pembebanan hipotik.Peraturan pemerintah yang mengatur mengenai pembebanan hipotek atas pesawat terbang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 13 ayat (3) UU No. 15 tahun 1992 tentang Penerbangan sampai saat ini belum direalisasikan, sehingga pelaksanaan pembebanan Hipotek atas Pesawat Terbang masih belum jelas dan belum bersifat nasional, yang artinya tidak semua Dinas Perhubungan (yang nantinya diharapkan sebagai badan yang melakukan registrasi terhadap pembebanan Hipotek atas Pesawat Terbang) dapat menerima atau bersedia melakukan pencatatan terhadap pembebanan Hipotek atas pesawat terbang, atau dengan kata lain belum ada badan yang ditunjuk secara resmi sebagai badan yang berwenang melakukan registrasi terhadap pembebanan Hipotek atas pesawat terbang, sebagaimana Kantor Pendaftaran Fidusia dalam hal pembebanan Fidusia, Kantor Pertanahan (BPN) dalam hal pembebanan Hak Tanggungan atau Kantor Syahbandar dalam hal pembebanan Hipotek atas kapal.
7.
Berikan komentar
Anda mengenai praktik di Bank, yaitu bank menahan sertifikat hak milik padahal
sudah ada hak tanggungannya !
JAWABAN :
Pada
dasarnya dalam UU Hak Tanggungan tidak diatur mengenai keharusan melampirkan
sertifikat hak atas tanah, maka tidak ada ketentuan yang mengatur dalam hal
kreditor tidak mau bekerja sama memberikan sertifikat atas tanah kepada debitor
dalam hal perjanjian kredit. Dalam hal bank menahan
sertifikat hak milik debitor padah telah ada APHT, maka bank dapat dituntut
perbuatan melawan hukum, karena
perbuatan itu bertentangan dengan hukum pada umumnya. Hukum bukan saja berupa
ketentuan-ketentuan undang-undang, tetapi juga aturan-aturan hukum tidak
tertulis, yang harus ditaati dalam hidup bermasyarakat.
Apakah Anda pernah ditolak pinjaman dari bank ataukah beberapa lembaga keuangan menolak permintaan Anda karena satu atau lebih alasan ?.
BalasHapusKAMI MENAWARKAN SEMUA JENIS PINJAMAN YANG BERDIRI DARI: - Pinjaman bisnis, - Pinjaman modal, - Pinjaman real estat, - Pinjaman pribadi, - Pinjaman pelajar, - Pinjaman pertanian dan lainnya dalam berinvestasi dengan investor yang baik ... Kami menawarkan pinjaman kepada perusahaan dan individu dengan bunga rendah tingkat 2%. Anda berada di tempat yang tepat untuk mendapatkan pinjaman Anda.
Hubungi kami hari ini dan selesaikan masalah keuangan Anda!
Email: MARGARETPEDROLOANCOMPANY@GMAIL.COMDapatkan masalah keuangan Anda diselesaikan di sini ....