Jumat, 05 Mei 2017

TEORI KEADILAN DI INDONESIA DAN PERBANDINGANNYA

BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Semua ciptaan manusia memiliki tujuan, termasuk hukum. Tujuan ini bermacam-macam, seperti kedamaian, ketertiban, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Tidak dapat dipungkiri, keadilan adalah salah satu tujuan hukum yang sekaligus menjadi masalah yang fundamental. Oleh karena itu, ada yang beranggapan bahwa isi dari hukum itu adalah keadilan. Menaati hukum dengan sendirinya berarti menegakkan keadilan.[1]
Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak dibicarakan sepanjang perjalanan sejarah teori hukum. Tujuan hukum memang bukan hanya keadilan, tetapi juga kepastian hukum dan kemanfaatan. Idealnya, hukum memang harus mengakomodasi ketiganya. Putusan hakim, misalnya, sedapat mungkin merupakan resultante dari ketiganya. Sekalipun demikian, tetap ada yang berpendapat, di atara ketiga tujuan hukum itu, keadilan merupakan yang paling penting, bahkan ada yang berpendapat bahwa satu-satunya tujuan hukum adalah keadilan. Contoh terakhir ini ditunjukkan oleh seorang hakim di Indonesia, Bismar Siregar dengan mengatakan, “Bila untuk menegakkan keadilan saya korbankan kepastian hukum, akan saya korbankan hukum itu. Hukum hanya sarana, sedangkan tujuannya adalah keadilan. Mengapa tujuan dikorbankan karena sarana?”[2] Uraian tentang masalah keadilan tidak mudah untuk dirumuskan. Dalam lapangan hukum yang berbeda atau dalam tempat dan waktu yang berlainan, persepsi keadilannya mungkin sekali menjadi berlainan pula.
Keadilan hanya bisa dipahami jika ia diposisikan sebagai keadaan yang hendak diwujudkan oleh hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut merupakan proses yang dinamis yang memakan banyak waktu. Upaya ini seringkali juga didominasi oleh kekuatan-kekuatan yang bertarung dalam kerangka umum tatanan politik untuk mengaktualisasikannya. Orang dapat menganggap keadilan sebagai sebuah gagasan atau realitas absolut dan mengasumsikan bahwa pengetahuan dan pemahaman tentangnya hanya bisa didapatkan secara parsial dan melalui upaya filosofis yang sangat sulit. Atau orang dapat menganggap keadilan sebagai hasil dari pandangan umum agama atau filsafat tentang dunia secara umum. Jika begitu, orang dapat mendefinisikan keadilan dalam satu pengertian atau pengertian lain dari pandangan ini.
Indonesia sebagai bangsa yang majemuk, dengan kata lain Indonesia merupakan negara yang memiliki warga yang heterogen, baik dari suku, kebudayaan, ras, dan agama. Telah banyak teori-teori tentang keadilan yang dikemukakan oleh para pakar hukum terdahulu, seperti Aristoteles, John Rawls, dan yang lain, serta dari penganut aliran-aliran hukum yang ada. Namun teori-teori tersebut belum tentu cocok diterapkan di Indonesia. Setiap teori keadilan itu tidak menutup kemungkinan memiliki kelebihan bahkan kelemahan, terlebih jika diterapkan di Indonesia yang memiliki masyarakat yang majemuk. Tentu tidak mudah untuk menyatukan dan menyamaratakan kebutuhan setiap warga negara ini. Hal ini tentu saja mengharuskan Indonesia untuk memiliki suatu konsep keadilan yang memadai dan mampu mengakomodasi setiap warga negaranya.

B.   Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, dapat ditarik dua permasalahan yaitu :
1.         Teori keadilan apa yang berlaku di Indonesia dan yang dapat mengakomodasi warga negaranya ?
2.         Apa kelemahan dan kelebihan teori keadilan yang berlaku di Indonesia jika dibandingkan dengan teori-teori keadilan terdahulu ?







BAB II
PEMBAHASAN

A.   Keadilan Sosial
Keadilan yang berlaku di Indonesia secara jelas dapat dilihat dalam rumusan sila-sila Pancasila terdapat kata-kata adil itu. Sila ke-2 berbunyi : Kemanusiaan yang adil dan beradab, dan sila ke-5 menyatakan : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (yang kemudian dicabut dengan ketetapan MPR No XVIII/MPR/1998), butir-butir dari prinsip telah diungkapkan pula secara jelas. Selanjutnya, apabila kita melihat pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, secara tegas juga disebutkan komitmen bangsa Indonesia terhadap keadilan itu. Jadi dapatlah keadilan menurut konsepsi bangsa Indonesia adalah keadilan sosial. Untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan keadilan sosial ini, pertama kali harus dikembalikan kepada pengertian adil seperti telah dikemukakan di atas.
Dalam dokumen lahirnya Pancasila diusulkan oleh Bung Karno adanya prinsip kesejahteraan sebagai salah satu dasar negara. Selanjutnya prinsip itu dijelaskan sebagai prinsip ” tidak ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka”. Dari usul dan penjelasan itu nampak adanya pembauran pengertian kesejahteraan dan keadilan. Bung Hatta dalam uraiannya mengenai sila “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, menyatakan bahwa keadilan sosial adalah langkah yang menentukan untuk melaksanakan Indonesia yang adil dan makmur. Selanjutnya diuraikan bahwa para pemimpin Indonesia yang menyusun Undang-Undang Dasar 1945 percaya bahwa cita-cita keadilan sosial dalam ekonomi ialah dapat mencapai kemakmuran yang merata. Langkah-langkah menuju kemakmuran yang merata diuraikan secara terperinci. Panitia ad-hoc majelis permusyawaratan rakyat sementara 1966 memberikan perumusan sebagai    berikut :
“Sila keadilan sosial mengandung prinsip bahwa setiap orang di Indonesia akan mendapat perlakuan yang adil dalam bidang hukum, politik, ekonomi dan kebudayaan”.[3]
Keadilan dengan begitu berkaitan dengan hak. Hanya saja, dalam konsepsi keadilan bangsa Indonesia, hak ini tidak dapat dipisahkan dengan pasangan antinominya, yaitu kewajiban. Sila kemanusiaan yang adil dan beradab, misalnya, dengan tegas mengamanatkan keserasian antara hak dan kewajiban sebagai manusia yang hidup bermasyarakat. Keadilan hanya dapat tegak dalam masyarakat yang beradab, atau sebaliknya, hanya masyarakat yang beradab yang dapat menghargai keadilan.[4]
Sila keadilan sosial bagi seluruh dapat membuat rakyat Indonesia menyadari hak dan kewajiban yang sama untuk menciptakan keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Selanjutnya untuk mewujudkan keadilan sosial itu, diperinci perbuatan dan sikap yang perlu dipupuk, yakni :
  • Perbuatan luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan;
  • Sikap adil terhadap sesama, menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban serta menghormati hak-hak orang lain;
  • Sikap suka memberi pertolongan kepada orang yang memerlukan;
  • Sikap suka bekerja keras; dan
  • Sikap menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan bersama.
Asas yang menuju dan terciptanya keadilan sosial itu akan dituangkan dalam bergai langkah dan kegiatan, antara lain melalui delapan jalur pemerataan yaitu :
  • Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat banyak khususnya pangan, sandang dan perumahan;
  • Pemerataan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan;
  • Pemerataan pembagian pendapatan;
  • Pemerataan kesempatan kerja;
  • Pemerataan kesempatan berusaha;
  • Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan khususnya bagi generasi mudadan kaum wanita;
  • Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah tanah air; dan
  • Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan;

B.    Kelebihan dan Kekurangan Teori Keadilan Sosial Dibandingkan dengan Teori-Teori Keadilan yang Lain
Aristoteles menyatakan bahwa seseorang dikatakan berlaku tidak adil adalah jika orang itu mengambil lebih dari bagian yang semestinya. Orang yang tidak menghiraukan hukum juga adalah orang yang tidak adil, karena semua hal yang didasarkan kepada hukum dapat dianggap sebagai adil. Jadi keadilan adalah penilaian dengan memberikan kepada siapapun sesuai dengan apa yang menjadi haknya, yakni dengan bertindak proporsional dan tidak melanggar hukum. Seperti kata Notohamidjojo, kelebihan keadilan sosial yaitu menuntut supaya manusia hidup dengan layak dalam masyarakat, masing-masing harus diberi kesempatan menurut menselijke waardigheid (kepatutan kemanusiaan). Pembangunan dan pelaksanaan pembangunan, tidak perlu hanya mengandaikan dan mewujudkan keadilan, melainkan juga kepatutan. Istilah kepatutan kemanusiaan seperti disebutkan oleh Notohamidjojo di atas dapat juga disebut dengan kepatutan yang wajar atau proporsional.[5]
Kelebihan lain dibandingkan dengan pandangan Utilitarianisme yaitu pengertian adil bagi bangsa Indonesia pun tidak serta merta mengarah ke arah suatu maksimum penggunaan barang bagi suatu komunitas (average utility, dihitung per kapita) menurut Utilitarianisme, atau ke arah suatu maksimum penggunaan barang secara merata dengan tetap memperhatikan kepribadian tiap-tiap orang menurut teori keadilan dari John Rawls. Sesuai dengan keseimbangan nila-nila antinomi, maka keadilan sosial dengan demikian menuntut keserasian antara nilai spiritualisme dan materialisme, individualisme dan kolektivisme, pragmatisme dan voluntarisme, acsetisisme dan hedonisme, empirisme dan intuisionisme, rasionalisme dan romantisme.
Dalam konteks pembangunan Indonesia, keadilan ini pun tidak bersifat sektoral, tetapi meliputi semua lapangan, baik dalam ideologi, politik, ekonomi, sosila, budaya, pertahanan, dan keamanan. Hanya dengan demikian akan dapat dipenuhi tujuan nasional, menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan.
Selain itu, jika dibandingkan dengan keadilan yang diperjuangkan negara sosialis, yang membagi rata penghasilannya bagi seluruh rakyat, keadilan sosial memberikan kesempatan dan hak kepada warga negara yang berprestasi dan bekerja keras daam bidang ekonomi. Di negara sosialis, pintar ataupun bodoh, kerja keras ataupun tidak semua dapat sama ( kecuali pemimpinnya ). Akhirnya, banyak yang tidak bisa bertahan juga. Negara seperti Rusia dan Cina pun sekarang mau menerima tidak bagi rata. Yang masih bertahan seperti Korea Utara dan Kuba, berakhir menjadi kerajaan kecil atas nama sosialis dimana yang berkuasa adalah keluarga penguasa juga. Kekuasaan diwariskan berdasarkan kekerabatan bukan lagi karena pembagirataan.
Aristoteles menegaskan bahwa keadilan dipahami dalam pengertian kesamaan, antara kesamaan numerik dan kesamaan proporsional. Kesamaan numerik mempersamakan setiap manusia sebagai satu unit. Kesamaan proporsional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuannya, prestasinya, dan sebagainya. Dia juga membedakan keadilan menjadi jenis keadilan distributif dan keadilan korektif. Yang pertama berlaku dalam hukum publik, yang kedua dalam hukum perdata dan pidana. Konsep keadilan sosial bukan kesamarataan. Kesetaraan gender juga bukan berarti wanita duduk sama rendah berdiri sama tinggi.  Keadilan sosial adalah menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Keadilan bukan berarti semua mendapatkan hal yang sama. Adil juga bukan berarti memberikan sesuatu tanpa ada sesuatu dibelakangnya.
John Rawls dengan teori keadilan sosialnya menegaskan bahwa maka program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu, pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi setiap orang, Dengan demikian, hukum yang ada baik hukum positif maupun hukum yang hidup dalam masyarakat, tidak semata-mata mengejar keadilan saja seperti yang ditekankan pada teori etis. Hakekat keadilan terletak pada penilaian terhadap suatu perlakuan/tindakan, sehingga terdapat dua pihak yang terkait yakni pihak yang memperlakukan dan pihak yang menerima.
Dari teori keadilan sosial John Rawls ini yang sedikit diadopsi d Indonesia memberikan kelemahan yaitu terjadinya benturan antara hukum yang dibuat oleh negara ( sebagai pihak yang memberi perlakuan ) dengan hukum yang hidup di masyarakat ( sebagai pihak yang mendapat perlakuan ). Hukum dalam masyarakat muncul sebagai sebuah kearifan lokal yang dibentuk oleh ragam keinginan/tujuan dari suku bangsa yang ada. Sehingga tujuan hukum tidak bisa serta merta hanya untuk mewujudkan keadilan saja.
Kelemahan lain dari keadilan sosial ini, yaitu Indonesia sulit untuk menjalankan tujuan hukum dengan berdasarkan pada teori utilitas, dimana teori tersebut menekankan pada tujuan hukum yang memberikan kemanfaatan pada jumlah orang terbanyak. Berbagai konflik sosial yang terjadi di Indonesia membuktikan bahwa kemanfaatan orang terbanyak tidak bisa serta merta memberikan keadilan sosial bagi seluruh warga negara. Konflik kaum minoritas selalu terjadi di berbagai daerah utamanya ketika menyangkut permasalahan ekonomi seperti pemanfaatan tanah rakyat dan sebagainya.
Proses meminimalisir sekat tersebut dilakukan dengan keberadaan peraturan perundang-undangan yang dapat memberikan keadilan sosial bagi seluruh warga negara dengan tidak meninggalkan/mengabaikan nilai budaya yang ada. Hal ini dapat berlaku apabila hukum juga dapat memberikan kemanfaatan bagi semua masyarakat. Kondisi ini sesungguhnya selaras dengan tujuan negara Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945. Unsur melindungi semua warga negara dan tumpah darah Indonesia, unsur menjaga ketertiban umum, serta mewujudkan keadilan sosial merupakan kumpulan unsur yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lain. Artinya, dalam bingkai negara kesatuan, hukum di Indonesia hendaknya mencantumkan unsur tersebut, kesejahteraan, ketertiban, dan keadilan sosial. Karena itu para founding fathers kita membuat sebuah dasar negara yakni Pancasila sebagai grundnorm bagi pembentukan hukum di Indonesia. Karena Pancasila mengandung kesemua unsur kehidupan yang dapat diterima disemua kalangan masyarakat Indonesia yang majemuk ini.






















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Indonesia sebagai bangsa yang majemuk, dengan kata lain Indonesia merupakan negara yang memiliki warga yang heterogen, baik dari suku, kebudayaan, ras, dan agama menggunakan teori keadilan sosial untuk mengakomodasi warga negaranya yang majemuk ini. Teori-teori tentang keadilan yang dikemukakan oleh para pakar hukum terdahulu, seperti Aristoteles, John Rawls, dan yang lain, serta dari penganut aliran-aliran hukum yang ada memiliki perbedaan dengan keadilan sosial yang dianut oleh Indonesia. Namun konsep keadilan sosial ini pun memiliki kelemahan dan kelebihan untuk diterapkan di Indonesia, namun keadilan sosial ini telah mengakomodasi berbagai kepentingan setiap warga negara Indonesia.

B.     Saran
Dalam memberikan rasa adil terhadap warga negara Indonesia, sebaiknya pemerintah lebih meninjau di seluruh wilayah Indonesia mengenai implementasi konsep keadilan sosial ini.












DAFTAR PUSTAKA

Achmad Ali. 2008. Menguak Tabir Hukum. Bogor Selatan : Ghalia Indonesia.
Achmad Ali. 2009. Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Darji Darmodiharjo dan Sidharta. 2006. Pokok-Pokok Filsafat Hukum. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
http://research.amikom.ac.id/index.php/STI/article/view/5684, diakses pada tanggal 28 November 2012 pada pukul 11.47 WITA.
http://staff.blog.ui.ac.id/arif51/2008/12/01/teori-keadilan-john-rawls/, diakses pada tanggal 28 November 2012 pada pukul 13.48 WITA.
http://ekosyatiyanto.blogspot.com/2011/04/keadilan-di-indonesia-dalam-bidang.html, diakses pada tanggal 28 November 2012 pada pukul 13.49 WITA.
http://www.scribd.com/doc/66805082/Teori-Hukum-Dan-Keadilan-Indonesia, diakses pada tanggal 28 November 2012 pada pukul 13.49 WITA.
http://id.wikipedia.org/wiki/Keadilan, diakses pada tanggal 28 November 2012 pada pukul 14.54 WITA.




[1]   Darji Darmodiharjo dan Sidharta, 2006, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, Hal. xiii.
[2]  Ibid, Hal. 156.
[4]  Op.Cit, Darji Darmodiharjo dan Sidharta, Hal.165
[5]  Ibid, Hal. 167.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar