BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Semua
ciptaan manusia memiliki tujuan, termasuk hukum. Tujuan ini bermacam-macam,
seperti kedamaian, ketertiban, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Tidak dapat
dipungkiri, keadilan adalah salah satu tujuan hukum yang sekaligus menjadi
masalah yang fundamental. Oleh karena itu, ada yang beranggapan bahwa isi dari
hukum itu adalah keadilan. Menaati hukum dengan sendirinya berarti menegakkan
keadilan.[1]
Keadilan
merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak dibicarakan sepanjang
perjalanan sejarah teori hukum. Tujuan hukum memang bukan hanya keadilan,
tetapi juga kepastian hukum dan kemanfaatan. Idealnya, hukum memang harus
mengakomodasi ketiganya. Putusan hakim, misalnya, sedapat mungkin merupakan resultante
dari ketiganya. Sekalipun demikian, tetap ada yang berpendapat, di atara ketiga
tujuan hukum itu, keadilan merupakan yang paling penting, bahkan ada yang
berpendapat bahwa satu-satunya tujuan hukum adalah keadilan. Contoh terakhir
ini ditunjukkan oleh seorang hakim di Indonesia, Bismar Siregar dengan
mengatakan, “Bila untuk menegakkan keadilan saya korbankan kepastian hukum,
akan saya korbankan hukum itu. Hukum hanya sarana, sedangkan tujuannya adalah
keadilan. Mengapa tujuan dikorbankan karena sarana?”[2] Uraian
tentang masalah keadilan tidak mudah untuk dirumuskan. Dalam lapangan hukum
yang berbeda atau dalam tempat dan waktu yang berlainan, persepsi keadilannya
mungkin sekali menjadi berlainan pula.
Keadilan
hanya bisa dipahami jika ia diposisikan sebagai keadaan yang hendak diwujudkan
oleh hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut merupakan
proses yang dinamis yang memakan banyak waktu. Upaya ini seringkali juga
didominasi oleh kekuatan-kekuatan yang bertarung dalam kerangka umum tatanan
politik untuk mengaktualisasikannya. Orang dapat menganggap keadilan sebagai
sebuah gagasan atau realitas absolut dan mengasumsikan bahwa pengetahuan dan
pemahaman tentangnya hanya bisa didapatkan secara parsial dan melalui upaya
filosofis yang sangat sulit. Atau orang dapat menganggap keadilan sebagai hasil
dari pandangan umum agama atau filsafat tentang dunia secara umum. Jika begitu,
orang dapat mendefinisikan keadilan dalam satu pengertian atau pengertian lain
dari pandangan ini.
Indonesia
sebagai bangsa yang majemuk, dengan kata lain Indonesia merupakan negara yang
memiliki warga yang heterogen, baik dari suku, kebudayaan, ras, dan agama. Telah
banyak teori-teori tentang keadilan yang dikemukakan oleh para pakar hukum
terdahulu, seperti Aristoteles, John Rawls, dan yang lain, serta dari penganut
aliran-aliran hukum yang ada. Namun teori-teori tersebut belum tentu cocok
diterapkan di Indonesia. Setiap teori keadilan itu tidak menutup kemungkinan memiliki
kelebihan bahkan kelemahan, terlebih jika diterapkan di Indonesia yang memiliki
masyarakat yang majemuk. Tentu tidak mudah untuk menyatukan dan menyamaratakan
kebutuhan setiap warga negara ini. Hal ini tentu saja mengharuskan Indonesia
untuk memiliki suatu konsep keadilan yang memadai dan mampu mengakomodasi
setiap warga negaranya.
B. Rumusan Masalah
Dari
latar belakang di atas, dapat ditarik dua permasalahan yaitu :
1.
Teori keadilan
apa yang berlaku di Indonesia dan yang dapat mengakomodasi warga negaranya ?
2.
Apa kelemahan
dan kelebihan teori keadilan yang berlaku di Indonesia jika dibandingkan dengan
teori-teori keadilan terdahulu ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Keadilan Sosial
Keadilan yang berlaku di Indonesia secara jelas dapat dilihat dalam
rumusan sila-sila Pancasila terdapat kata-kata adil itu. Sila ke-2 berbunyi :
Kemanusiaan yang adil dan beradab, dan sila ke-5 menyatakan : Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang
Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (yang kemudian dicabut dengan
ketetapan MPR No XVIII/MPR/1998), butir-butir dari prinsip telah diungkapkan
pula secara jelas. Selanjutnya, apabila kita melihat pada Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945, secara tegas juga disebutkan komitmen bangsa
Indonesia terhadap keadilan itu. Jadi dapatlah keadilan menurut konsepsi bangsa
Indonesia adalah keadilan sosial. Untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan
keadilan sosial ini, pertama kali harus dikembalikan kepada pengertian adil
seperti telah dikemukakan di atas.
Dalam dokumen lahirnya Pancasila
diusulkan oleh Bung Karno adanya prinsip kesejahteraan sebagai salah satu dasar
negara. Selanjutnya prinsip itu dijelaskan sebagai prinsip ” tidak ada
kemiskinan di dalam Indonesia merdeka”. Dari usul dan penjelasan itu nampak
adanya pembauran pengertian kesejahteraan dan keadilan. Bung Hatta dalam
uraiannya mengenai sila “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, menyatakan
bahwa keadilan sosial adalah langkah yang menentukan untuk melaksanakan Indonesia
yang adil dan makmur. Selanjutnya diuraikan bahwa para pemimpin Indonesia yang
menyusun Undang-Undang Dasar 1945 percaya bahwa cita-cita keadilan sosial dalam
ekonomi ialah dapat mencapai kemakmuran yang merata. Langkah-langkah menuju
kemakmuran yang merata diuraikan secara terperinci. Panitia ad-hoc majelis
permusyawaratan rakyat sementara 1966 memberikan perumusan sebagai berikut :
“Sila
keadilan sosial mengandung prinsip bahwa setiap orang di Indonesia akan
mendapat perlakuan yang adil dalam bidang hukum, politik, ekonomi dan
kebudayaan”.[3]
Keadilan dengan begitu berkaitan dengan hak. Hanya saja, dalam
konsepsi keadilan bangsa Indonesia, hak ini tidak dapat dipisahkan dengan
pasangan antinominya, yaitu kewajiban. Sila kemanusiaan yang adil dan beradab,
misalnya, dengan tegas mengamanatkan keserasian antara hak dan kewajiban
sebagai manusia yang hidup bermasyarakat. Keadilan hanya dapat tegak dalam
masyarakat yang beradab, atau sebaliknya, hanya masyarakat yang beradab yang
dapat menghargai keadilan.[4]
Sila keadilan sosial bagi seluruh dapat
membuat rakyat Indonesia menyadari hak dan kewajiban yang sama untuk
menciptakan keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Selanjutnya
untuk mewujudkan keadilan sosial itu, diperinci perbuatan dan sikap yang perlu
dipupuk, yakni :
- Perbuatan luhur yang
mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan;
- Sikap adil terhadap sesama,
menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban serta menghormati hak-hak
orang lain;
- Sikap suka memberi pertolongan
kepada orang yang memerlukan;
- Sikap suka bekerja keras; dan
- Sikap menghargai hasil karya
orang lain yang bermanfaat untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan
bersama.
Asas
yang menuju dan terciptanya keadilan sosial itu akan dituangkan dalam bergai
langkah dan kegiatan, antara lain melalui delapan jalur pemerataan yaitu :
- Pemerataan pemenuhan kebutuhan
pokok rakyat banyak khususnya pangan, sandang dan perumahan;
- Pemerataan memperoleh
pendidikan dan pelayanan kesehatan;
- Pemerataan pembagian pendapatan;
- Pemerataan kesempatan kerja;
- Pemerataan kesempatan berusaha;
- Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan
khususnya bagi generasi mudadan kaum wanita;
- Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah
tanah air; dan
- Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan;
B.
Kelebihan dan Kekurangan Teori
Keadilan Sosial Dibandingkan dengan Teori-Teori Keadilan yang Lain
Aristoteles menyatakan bahwa seseorang dikatakan berlaku tidak adil
adalah jika orang itu mengambil lebih dari bagian yang semestinya. Orang yang
tidak menghiraukan hukum juga adalah orang yang tidak adil, karena semua hal
yang didasarkan kepada hukum dapat dianggap sebagai adil. Jadi keadilan adalah
penilaian dengan memberikan kepada siapapun sesuai dengan apa yang menjadi
haknya, yakni dengan bertindak proporsional dan tidak melanggar hukum. Seperti
kata Notohamidjojo, kelebihan keadilan sosial yaitu menuntut supaya manusia
hidup dengan layak dalam masyarakat, masing-masing harus diberi kesempatan
menurut menselijke waardigheid (kepatutan kemanusiaan). Pembangunan dan
pelaksanaan pembangunan, tidak perlu hanya mengandaikan dan mewujudkan
keadilan, melainkan juga kepatutan. Istilah kepatutan kemanusiaan seperti
disebutkan oleh Notohamidjojo di atas dapat juga disebut dengan kepatutan yang
wajar atau proporsional.[5]
Kelebihan lain dibandingkan dengan pandangan Utilitarianisme yaitu
pengertian adil bagi bangsa Indonesia pun tidak serta merta mengarah ke arah
suatu maksimum penggunaan barang bagi suatu komunitas (average utility,
dihitung per kapita) menurut Utilitarianisme, atau ke arah suatu maksimum
penggunaan barang secara merata dengan tetap memperhatikan kepribadian
tiap-tiap orang menurut teori keadilan dari John Rawls. Sesuai dengan
keseimbangan nila-nila antinomi, maka keadilan sosial dengan demikian menuntut
keserasian antara nilai spiritualisme dan materialisme, individualisme dan
kolektivisme, pragmatisme dan voluntarisme, acsetisisme dan hedonisme,
empirisme dan intuisionisme, rasionalisme dan romantisme.
Dalam konteks pembangunan Indonesia, keadilan ini pun tidak
bersifat sektoral, tetapi meliputi semua lapangan, baik dalam ideologi,
politik, ekonomi, sosila, budaya, pertahanan, dan keamanan. Hanya dengan
demikian akan dapat dipenuhi tujuan nasional, menciptakan masyarakat yang adil
dan makmur. Adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan.
Selain itu, jika dibandingkan dengan keadilan yang diperjuangkan
negara sosialis, yang membagi rata penghasilannya bagi seluruh rakyat, keadilan
sosial memberikan kesempatan dan hak kepada warga negara yang berprestasi dan
bekerja keras daam bidang ekonomi. Di negara sosialis, pintar ataupun bodoh, kerja
keras ataupun tidak semua dapat sama ( kecuali pemimpinnya ). Akhirnya, banyak
yang tidak bisa bertahan juga. Negara seperti Rusia dan Cina pun sekarang mau
menerima tidak bagi rata. Yang masih bertahan seperti Korea Utara dan Kuba,
berakhir menjadi kerajaan kecil atas nama sosialis dimana yang berkuasa adalah
keluarga penguasa juga. Kekuasaan diwariskan berdasarkan kekerabatan bukan lagi
karena pembagirataan.
Aristoteles menegaskan bahwa keadilan dipahami dalam pengertian
kesamaan, antara kesamaan numerik dan kesamaan proporsional. Kesamaan numerik
mempersamakan setiap manusia sebagai satu unit. Kesamaan proporsional memberi
tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuannya, prestasinya, dan
sebagainya. Dia juga membedakan keadilan menjadi jenis keadilan distributif dan
keadilan korektif. Yang pertama berlaku dalam hukum publik, yang kedua dalam
hukum perdata dan pidana. Konsep keadilan sosial bukan kesamarataan. Kesetaraan
gender juga bukan berarti wanita duduk sama rendah berdiri sama tinggi.
Keadilan sosial adalah menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Keadilan
bukan berarti semua mendapatkan hal yang sama. Adil juga bukan berarti
memberikan sesuatu tanpa ada sesuatu dibelakangnya.
John Rawls dengan teori keadilan sosialnya menegaskan bahwa
maka program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah
memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu, pertama, memberi hak dan kesempatan
yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi
setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang
terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal
benefits) bagi setiap orang, Dengan demikian, hukum yang ada baik hukum
positif maupun hukum yang hidup dalam masyarakat, tidak semata-mata mengejar
keadilan saja seperti yang ditekankan pada teori etis. Hakekat keadilan
terletak pada penilaian terhadap suatu perlakuan/tindakan, sehingga terdapat
dua pihak yang terkait yakni pihak yang memperlakukan dan pihak yang menerima.
Dari teori keadilan sosial John Rawls ini yang sedikit
diadopsi d Indonesia memberikan kelemahan yaitu terjadinya benturan antara
hukum yang dibuat oleh negara ( sebagai pihak yang memberi perlakuan ) dengan
hukum yang hidup di masyarakat ( sebagai pihak yang mendapat perlakuan ). Hukum
dalam masyarakat muncul sebagai sebuah kearifan lokal yang dibentuk oleh ragam
keinginan/tujuan dari suku bangsa yang ada. Sehingga tujuan hukum tidak bisa
serta merta hanya untuk mewujudkan keadilan saja.
Kelemahan lain dari keadilan sosial ini, yaitu Indonesia
sulit untuk menjalankan tujuan hukum dengan berdasarkan pada teori utilitas,
dimana teori tersebut menekankan pada tujuan hukum yang memberikan kemanfaatan
pada jumlah orang terbanyak. Berbagai konflik sosial yang terjadi di Indonesia
membuktikan bahwa kemanfaatan orang terbanyak tidak bisa serta merta memberikan
keadilan sosial bagi seluruh warga negara. Konflik kaum minoritas selalu
terjadi di berbagai daerah utamanya ketika menyangkut permasalahan ekonomi
seperti pemanfaatan tanah rakyat dan sebagainya.
Proses meminimalisir sekat tersebut dilakukan dengan
keberadaan peraturan perundang-undangan yang dapat memberikan keadilan sosial
bagi seluruh warga negara dengan tidak meninggalkan/mengabaikan nilai budaya
yang ada. Hal ini dapat berlaku apabila hukum juga dapat memberikan kemanfaatan
bagi semua masyarakat. Kondisi ini sesungguhnya selaras dengan tujuan negara
Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945. Unsur melindungi
semua warga negara dan tumpah darah Indonesia, unsur menjaga ketertiban umum,
serta mewujudkan keadilan sosial merupakan kumpulan unsur yang tidak bisa
dipisahkan antara satu dengan yang lain. Artinya, dalam bingkai negara
kesatuan, hukum di Indonesia hendaknya mencantumkan unsur tersebut,
kesejahteraan, ketertiban, dan keadilan sosial. Karena itu para founding
fathers kita membuat sebuah dasar negara yakni Pancasila sebagai grundnorm
bagi pembentukan hukum di Indonesia. Karena Pancasila mengandung kesemua unsur
kehidupan yang dapat diterima disemua kalangan masyarakat Indonesia yang
majemuk ini.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Indonesia
sebagai bangsa yang majemuk, dengan kata lain Indonesia merupakan negara yang
memiliki warga yang heterogen, baik dari suku, kebudayaan, ras, dan agama
menggunakan teori keadilan sosial untuk mengakomodasi warga negaranya yang
majemuk ini. Teori-teori tentang keadilan yang dikemukakan oleh para pakar
hukum terdahulu, seperti Aristoteles, John Rawls, dan yang lain, serta dari
penganut aliran-aliran hukum yang ada memiliki perbedaan dengan keadilan sosial
yang dianut oleh Indonesia. Namun konsep keadilan sosial ini pun memiliki
kelemahan dan kelebihan untuk diterapkan di Indonesia, namun keadilan sosial
ini telah mengakomodasi berbagai kepentingan setiap warga negara Indonesia.
B. Saran
Dalam
memberikan rasa adil terhadap warga negara Indonesia, sebaiknya pemerintah
lebih meninjau di seluruh wilayah Indonesia mengenai implementasi konsep
keadilan sosial ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Achmad Ali. 2008. Menguak Tabir
Hukum. Bogor Selatan : Ghalia Indonesia.
Achmad Ali. 2009. Menguak Teori
Hukum dan Teori Peradilan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Darji Darmodiharjo dan Sidharta.
2006. Pokok-Pokok Filsafat Hukum. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
http://www.scribd.com/doc/90361052/Makalah-Konsep-Keadilan-Sosial-Bagi
Seluruh-Rakyat-Indonesia-10102010,
diakses pada tanggal 28 November 2012 pada pukul 15.53 WITA.
http://ferli1982.wordpress.com/2012/06/20/teori-etis-utility-dan-campuran-adalah-sebuah-pergeseran-menurut-saudara-teori-manakah-yang-paling-cocok-untuk-kehidupan-hukum-di-indonesia/, diakses pada tanggal 28 November 2012 pada pukul 11.47 WITA.
http://research.amikom.ac.id/index.php/STI/article/view/5684, diakses pada tanggal 28 November 2012 pada pukul 11.47 WITA.
http://staff.blog.ui.ac.id/arif51/2008/12/01/teori-keadilan-john-rawls/, diakses pada tanggal 28 November 2012 pada pukul 13.48 WITA.
http://ekosyatiyanto.blogspot.com/2011/04/keadilan-di-indonesia-dalam-bidang.html, diakses pada tanggal 28 November 2012 pada pukul 13.49 WITA.
http://www.scribd.com/doc/66805082/Teori-Hukum-Dan-Keadilan-Indonesia, diakses pada tanggal 28 November 2012 pada pukul 13.49 WITA.
http://www.scribd.com/doc/90361052/Makalah-Konsep-Keadilan-Sosial-Bagi-Seluruh-Rakyat-Indonesia-10102010, diakses pada tanggal 28 November 2012 pada pukul 14.53 WITA.
http://id.wikipedia.org/wiki/Keadilan, diakses pada tanggal 28 November 2012 pada pukul 14.54 WITA.
[1] Darji Darmodiharjo dan Sidharta, 2006, Pokok-Pokok
Filsafat Hukum, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, Hal. xiii.
[2] Ibid, Hal. 156.
[3] http://www.scribd.com/doc/90361052/Makalah-Konsep-Keadilan-Sosial-Bagi-Seluruh-Rakyat-Indonesia-10102010, diakses pada
tanggal 28 November 2012 pada pukul 15.53 WITA.
[4] Op.Cit, Darji Darmodiharjo dan Sidharta,
Hal.165
[5] Ibid, Hal. 167.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar